Inner Child dan Kualitas Mindfulness untuk Masa Depan Lebih Baik

 

Akhir-akhir ini banyak teman-teman saya yang ngobrolin soal inner child. Ada yang masa kecilnya jauh dari sosok ayahnya hingga itu berpengaruh pada pola asuh pada anaknya kini, ada yang saat kecil jarang main sama saudaranya (merasa dijauhi saudaranya) hingga berefek pada pola asuhnya pada anak-anaknya sekarang, dan lain-lain.


inner child dan kualitas mindfulness untuk masa depan yang baik


Saya pun, meraba-raba diri sendiri. Saya pun, punya banyak cerita tentang masa kecil dan masa lalu saya. Dari soal introvert dan merasa terdiskriminasi, merasa punya banyak luka pengasuhan, hingga masih sering menyalahkan orang tua sebagai bagian yang punya andil besar dari masa lalu (masa kecil) saya. Ya, hingga saat ini pun saya masih terus belajar mengenai inner child, luka pengasuhan, dan bagaimana saya berproses untuk menjadi manusia yang lebih bebas dari segala bentuk beban masa lalu.

Sedikit mengulang cerita (ya, saya sudah beberapa kali menulis tentang masa kecil saya dan hal-hal pribadi lainnya di blog ini), saya kecil adalah saya yang pendiam, pemalu, introvert, dan semacam itulah. Saya tebiasa memendam perasaan, tak bisa berpendapat secara bebas, intinya takut berekspresi. Karena, sejak kecil dulu orang tua saya (terutama bapak) menerapkan pendidikan yang keras terhadap anak-anaknya. Keluarga kami juga tidak demokratis.

Masa lalu saya itu terus saya ingat hingga saat ini. Saya merasa sakit atas masa lalu, dan rasa sakit itu seringkali masih membayangi. Dan saya berusaha tidak berbuat hal yang sama (menerapkan pendidikan otoriter) terhadap anak-anak saya. Namun, mungkin karena terbawa alam bawah sadar, justru kadang saya juga bertindak tegas pada anak-anak saya,  

Padahal, saya juga ingin punya kehidupan yang tenang di masa kini dan masa yang akan datang. Kehidupan yang mindfulness. Kehidupan yang fokus pada kebahagiaan masa kini dan masa yang akan datang, yang tidak terbebani oleh masa lalu yang buruk. Yaitu saat hati, pikiran, lisan, dan perbuatan seiring sejalan membentuk pribadi yang bahagia, pribadi yang utuh dan penuh untuk masa depan yang lebih baik. Saya ingin mendidik anak-anak dengan lebih baik dari masa lalu saya.

Lalu, apa dan bagaimana yang harus saya lakukan?

Alhamdulillah pada hari Sabtu kemarin, tanggal 19 Maret 2022, saya berkesempatan untuk ikut Zoominar bertema psikologi dan parenting bersama DANDIAH Care dan ISB (Indonesian Social Blogpreneur) dengan pembahasan mengenai "Bertemu dengan Inner Child". Acara yang berlangsung selama satu setengah jam tersebut memberikan pengetahuan dan insight baru bagi saya mengenai inner child dan bagaimana membangun kualitas mindfulness untuk masa depan yang lebih baik.

Baca juga: Saya Belum Bisa Mencintai Diri Sendiri.


Inner Child dan Luka Pengasuhan

Acara yang dipandu oleh teh Ani Berta sebagai founder ISB tersebut berlangsung bersama dua founder DANDIAH Care, yaitu Dandy Birdy dan Diah Mahmudah. Kedua psikolog ini adalah pasangan suami istri yang mendirikan DANDIAH Care sebagai biro psikologi sejak beberapa waktu yang lalu.

Sebagaimana yang disampaikan oleh teh Diah, konsep inner child dalam perspektif psikologi adalah pengalaman masa lalu yang tidak atau belum mendapatkan penyelesaian dengan baik. Orang dewasa bisa memiliki berbagai macam kondisi inner child yang dihasilkan oleh pengalaman positif atau negatif yang dialami di masa lalu (John Bradshaw, 1990).

Inner child juga bisa didefinisikan sebagai "Ada sosok anak kecil (yang dia memiliki sisi yang happy, juga sisi yang unhappy), yang dimiliki oleh orang dewasa masa kini"

Jadi sebenarnya tiap orang punya inner child, bisa positif atau negatif. Inner child yang positif bisa menjadikan orang dewasa yang selalu happy, sedangkan inner child yang negatif bisa menjadikan orang dewasa yang penakut, pemalu, dan lain-lain. Menurut teh Diah, inner child biasanya baru bisa dirasakan pada saat kita dewasa, yaitu mulai usia 21 atau 24 tahun.

Inner child yang negatif merupakan bagian dari luka pengasuhan, yang bersumber dari orang tua yang kurang lemah lembut terhadap anak, atau belum memenuhi hak-hak anak. Luka pengasuhan terjadi karena ada hak anak yang minim atau tidak dipenuhi oleh sosok orang tua. Berbeda dengan inner child, luka pengasuhan sudah bisa dilihat mulai usia 15 tahun.

Hak-hak anak itu (dalam agama Islam) adalah sebagai berikut:

  1. Hak untuk hidup, tumbuh dan berkembang.
  2. Hak untuk mendapatkan perlindungan dan penjagaan dari siksa api neraka.
  3. Hak untuk mendapatkan nafkah dan kesejahteraan.
  4. Hak untuk mendapatkan pendidikan dan pengajaran.
  5. Hak untuk mendapatkan keadilan dan persamaan derajat.
  6. Hak untuk mendapatkan cinta kasih.
  7. Hak bermain.

Baca juga: Membangun Karakter Positif pada Anak, Ketahui Masalah dan Cara Mengatasinya

refleksi inner child


Ada 3 pola asuh orang tua dan buah pengasuhan, yaitu:

  • Luka (Abusive): dalam pola asuh ini orang tua berperilaku dzalim dan durhaka (otoriter).
  • Hampa (Not Supportive): pola asuh ini biasanya academic oriented.
  • Cinta (Supportive): ini pola asuh idaman, yang menampilkan perilaku hangat dan nurture dari orang tua.

Jika pola asuhnya adalah Luka, maka anak akan punya luka pengasuhan, yang bisa menjadikannya anak durhaka. Sikap durhaka anak ini didahului oleh sikap durhaka dari orang tua kepada anaknya.

Sementara itu teh Diah dan pak Dandy menyebutkan ada 7 tema luka pengasuhan yang sering dialami oleh orang-orang saat ini (menurut penelitian dua psikolog ini), yaitu sebagai berikut:

  1. Unwanted child
  2. Bullying: berawal dari rumah
  3. Sibling rivalry
  4. Buah helicopter parenting
  5. Parent way
  6. Anak broken home
  7. Anak terlantar di rumah mewah

Ketujuh tema luka pengasuhan ini berbeda-beda sumbernya, dan berbeda-beda pula cara penanganan/pemulihannya. Namun dalam zoominar ini tidak dibahas secara rinci bagaimana proses healing yang dilakukan, karena biasanya klien Dandiah Care akan mengikuti workshop khusus untuk proses healing.

Baca juga: Penyandang Disabilitas dan Kesetaraan dalam Kesehatan Jiwa untuk Semua.


Membasuh Luka Pengasuhan, Langkah Penting dalam Parenting

"Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu." (QS. Ali Imron: 159).


Menurut Eric Berne, 1990, di dalam setiap diri manusia ada 3 ego state, yaitu Child Ego StateAdult Ego State, dan Parent Ego State.

  • Child ego state menampilkan karakter free child, adaptive child dan maladaptive child.
  • Adult ego state menampilkan karakter rational dan realistic.
  • Parent ego state punya karakter critical or/and punishment parent dan nurture parent

Orang tua seharusnya punya sisi parent dan sisi child dalam mendampingi tumbuh kembang anak-anaknya, juga bagi pasangannya. Sehingga ada kalanya kita bisa happy di saat yang tepat, juga bisa merasa takut, malu, dan sikap-sikap lainnya di tempat dan saat yang tepat.

Kemudian, pasangan dan anak adalah sebagai pendamping pembasuh luka pengasuhan. Seperti dalam Trilogy Positive Parenting, bahwa ada hubungan timbal balik antara relasi pernikahan, parenting, dan perilaku anak. Maka tiap anggota keluarga seharusnya punya spirit forgiveness (memaafkan), empowering (keberdayaan), juga gratefull (kebersyukuran).

Baca juga: [Review] Anger Management: Kelola Amarah untuk Menuai Manfaat.


Maka dalam pengasuhan anak/parenting juga untuk mewujudkan kualitas hidup yang mindfulness, memaafkan masa lalu, memberdayakan diri pada hal-hal positif, dan bersyukur atas apa-apa yang dimiliki dan apa-apa yang telah terjadi, adalah tiga hal penting yang harus dilakukan. Agar hidup kita terbebas dari luka pengasuhan.

Kemudian hal yang perlu digarisbawahi dari persoalan inner child adalah, menghadapi inner child bukan mengubah takdir, tetapi mengubah respon kita pada takdir, yaitu mengubah menjadi lebih baik. Sementara itu inner child yang negatif tidak semata-mata karena kesalahan orang tua (ini paradigma yang salah), namun bisa juga karena faktor lingkungan dan faktor-faktor lainnya. Orang tua memang punya andil pada luka pengasuhan, tapi diri kita sendiri yang bertanggungjawab penuh pada pemulihan luka kita.



1 comment

Terima kasih sudah berkunjung :)
Saya akan senang jika teman-teman meninggalkan komentar yang baik dan sopan.
Mohon maaf komentar dengan link hidup akan saya hapus ^^.