MUDIK: Sebuah Suara Hati

 

senja-dan-ilalang
Credit: pexels.com


Le, sore ini aku duduk di sini. Di tempat yang sama waktu dulu kamu suka bermain layang-layang di lautan ilalang itu. Tapi, senja ini semakin sepi, karena kamu tak di sini. Tak seperti saat kita hanya tinggal berdua, dipunggungi langkah kawan-kawanmu menuju rumahnya, sementara kita masih bersenda gurau menanti mentari itu benar-benar menghilang dari pandangan.


Le, sudah setahun lebih kamu tak pulang. Seharusnya dua tahun, tapi aku memaksamu pulang setahun lalu. Karena aku begitu rindu denganmu. Hingga rindu itu menjelma sebentuk sakitku. Kamu pulang, meski hanya semalam. Dan nyatanya, tak terjadi apa-apa setelahnya. Lalu kenapa kamu tak pulang lagi sekarang?

Le, aku ingin malam ini kamu juga di sini. Aku ingin mendengar ceritamu di kota sana. Aku ingin menatapmu dekat, seperti dulu yang sering aku lakukan. Kamu masih ingat, kan, dulu.. kita sering menggelar tikar di halaman rumah kita yang penuh rumput Jepang, lalu kita tiduran bersama-sama, bercerita sambil memandang bintang-gemintang.. atau memandang bulan purnama yang tersenyum bulat melihat kebersamaan keluarga kita.. kamu berceloteh tentang sekolahmu, tentang teman mainmu yang katamu curang bermain kelereng, tentang gurumu yang katamu galak tapi sayang sama kamu.. tentang.. banyak hal.

Le, apa kamu tak rindu pada dinding-dinding tembok yang biasa kamu coret-coret dulu, pada kamar mandi usang yang biasanya kamu habiskan waktu hampir setengah jam di sana, pada halaman belakang yang penuh pohon jambu merah, pada kursi-kursi tua di ruang tengah yang kadang bertebaran dengan baju-baju kotor setelah kamu pakai lalu kau lempar di sana? Atau pada kasur di kamar kita yang kamu sering berloncatan di atasnya setelah puas berkecipak air dari kamar mandi?

Hari ini, semuanya telah kutata rapi, kubersihkan dari debu-debu. Kupasang taplak meja bermotif kotak-kotak seperti usulmu, kuselimuti kasur dengan sprei wangi dan tak bau apek lagi tersebab kaki basahmu. Kubersihkan jendela-jendela depan rumah hingga jika kau telah berdiri di depan sana, akan terlihat jelas olehku dan aku akan segera tergopoh ke arahmu, lalu memelukmu.

Le, hari ini, aku sudah siap menunggu hadirmu.


sunset-dan-masa-kecil
Credit: pexels.com

Ndhuk, dua tahun kita tak bersua. Aku hanya bisa melihat putrimu dari foto-foto yang kau kirim. Emm.. Mungkin sekarang tingginya sudah sepinggangku, ya?

Kamu ingat, kan, kamu dulu pernah minta dibelikan gaun hitam bergambar putri-putri cantik dan berhias pita berwarna emas menjelang lebaran. Cantik dan anggun sekali gaun itu. Dan tiap kali kamu memakainya, kamu selalu bersenandung; "Cinderella.. Cinderella.."

Apakah sekarang putrimu juga kau belikan baju-baju seperti kesukaanmu? Emm.. Tapi tentu modelnya lebih cantik dan kainnya lebih lembut dari yang aku belikan, ya?

Ndhuk, hari ini aku masak sendiri. Tak seperti dulu saat kau di sini, dapur terasa ramai dengan celotehanmu. Kadang tangan mungilmu ikut mengiris wortel, mengupas bawang, lalu kadang aku marah karena kau tak membersihkan kotoran dari sayur-mayur itu.

Ndhuk, hari ini aku menyiapkan opor ayam dan sambal goreng rempela ati kesukaanmu, sendiri. Tak terdengar lagi celetukanmu yang sering membuat kita berdebat; "Kurang gurih, kebanyakan merica, kurang kental.." Tapi, sekarang aku kangen mendengarkan suara-suara itu di sampingku. 

Ndhuk, apa kamu tak ingin mengulang perjalanan kita ke pasar di pagi yang sunyi. Yang sesekali ditingkahi oleh suara jangkrik maupun deru truk pengantar sayur dan segala rupa kebutuhan ke pasar. Dan kita tak pernah risau atas semua hal. Desa kita ini aman, Ndhuk. Tak seperti kotamu sekarang, yang katamu untuk melepas putrimu di depan rumah saja kau tak berani.

Ndhuk, aku kangen. Aku ingin memakai kebaya kembar denganmu dan putrimu. Lalu kita di sini, duduk bersama tamu-tamu kita sembari berbincang dan mencamil kue-kue mungil kesukaanmu.


ibu-tua-menunggu
Credit: pixabay.com

Le, Ndhuk, kalian kangen rumah atau tidak? Dan, apakah kalian tak pernah merindukanku lagi? 

Le, Ndhuk, kadang aku sedih, ketika mudik, rumah ini hanya kau jadikan layaknya terminal. Kamu lebih sering bertemu teman-temanmu, sibuk reuni dengan teman kuliah, teman kerja, teman SMA, SMP, SD, TK.. lalu masih kau sambung lagi rentetan acara jalan-jalan dengan alasan mengantarkan anakmu ke tempat wisata dekat rumah..

Ketika di rumah, kau pun sibuk dengan layar handphone-mu, atau bahkan laptopmu. Ketika kita ngobrol, kau sibuk mengarahkan kamera ke wajahku dan ayahmu, ke wajah anak-anakmu, lalu pada hidangan-hidangan di atas meja, pada bunga-bunga di teras, bahkan ke hampir semua benda di rumah ini. Begitupun ketika kau ajak aku ke kebun atau sawah di belakang rumah. Kau ambil gambar dengan kamera ponselmu dari semua sudut yang memungkinkan.

Lalu foto-foto itu kau unggah ke akun-akun media sosialmu. Dengan senyum gembira yang tampak, kau tuliskan sederet kalimat di sana; "Rindu rumah, rindu mereka".

Apakah seperti itu mudik yang membuat hati kalian gembira?

Tetapi, apakah dengan semua yang kau lakukan itu, kamu benar-benar rindu padaku?


Le, Ndhuk, kalian kangen rumah atau tidak? Dan, apakah kalian tak pernah merindukanku lagi? 

Sebelum pandemi pun, kalian jarang pulang. Katamu sibuk rapat, katamu dinas ke luar kota, katamu pesawat sedang tidak aman, katamu sedang lembur, katamu anakmu sakit, dan entah apa lagi..

Lalu ketika pandemi ini datang, aku merasakan semua alasan itu menyatu menjadi kekuatan alasan baru, agar kamu tak pulang. Kamu cukup melontarkan satu alasan lalu akan membuatku terdiam. Lalu kamu bisa bersenang-senang di dalam kotamu sana bersama anakmu. Sedangkan aku, tetap akan merindukanmu, di sini..

Le, Ndhuk, aku hanya bisa berharap. Tahun depan, kalian bisa mudik. Rumput Jepang di depan rumah masih menanti kalian. Kita nanti tiduran bersama di situ, ya? Kita bercerita sambil memandang bintang-gemintang yang tampak jelas di pekatnya malam, di desa kita.

Semoga, kita masih bisa berjumpa lagi, berbagi cerita lagi, sembari saling mendengarkan hembusan napas masing-masing.

Pulanglah, mudiklah.


❤️❤️❤️


Catatan:

Le, Ndhuk: panggilan dalam bahasa Jawa (Jawa Tengah). "Le" untuk anak laki-laki, "Ndhuk" untuk anak perempuan.


* Tulisan ini dibuat dalam rangka mengikuti tema "Mudik dalam Tulisan" yang diselenggarakan Warung Blogger.



19 comments

  1. Sedih bacanya, berasa nampol di beberapa paragraf. Kalo kami pulang kampung ke Blitar sebisa mungkin menyeimbangkan antara melepas rindu sama Ibu mertua dan bikin konten hehehe. Soalnya di desa banyak objek yang sayang kalo nggak dijadikan konten entah itu di blog atau yutub.
    Misalnya bantu beliau bikin jajanan buat dijual, trus ajak Mertua jalan-jalan sambil bikin konten travelling.

    ReplyDelete
    Replies
    1. 😂😆 konten is the King ya, Mas.
      Ehh kok diplesetin ke sini, sihh 🤭

      Delete
  2. Rasanya... Entahlah, seperti ada yang mengganjal di hati saat membaca tulisan ini. Sebab, aku merasa menjadi anak yang tak berbakti kepada orang tua. Rumahku berjarak tak sampai 2km dari rumah kedua orang tuaku. Tapi, aku jarang sekali pulang. Bahkan sabtu dan minggu...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Semoga setelah ini ada "kekuatan" untuk lebih sering menjenguk kedua ortu ya, Mas :)

      Delete
  3. Sediiih baca ini :(. Krn sebagian curhatan mamaku juga pas nelponin aku kepengin kami sekeluarga balik ke Medan THN ini. Apalagi trakhir pulang 2018. Ortuku termasuk yg ga terlalu takut Ama pandemi ini, walopun mereka ttp konsisten pake masker Krn dipaksa Ama adekku yg dokter di sana. Mama malah udh vaksin, tapi papa nolak.

    Cuma aku termasuk yg ga mau bepergian naik transportasi umum sampe pandemj berakhir sih mba. Makanya bujukan mama kemarin utk pulang, baik2 aku terpaksa tolak. Dalam hati kangeeen bgt mudik ke Medan.tapi gimana yaa. Selain aku takut nulari virus ke mereka, aku juga kuatir kalo bawa anak2 ke sana. Krn biar gimana mereka ada sejarah sakit paru walopun skr udh sembuh. Aku msh kuatir pastinya :(. Sekarang ini aku cuma berharap, walopun ntah kapan pandemj usai, tp setidaknya kalo vaksin udh dapet aja, aku sedikit beranilah utk bepergian. Masalahnya sampe skr aja aku blm dpt giliran utk vaksin :D. Yg buat anak2 juga belum ada.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya, Mbak. Aku melihat banyak orang tua terutama di desa-desa, enggak percaya Covid-19. Jadi ya mereka berharap anak-anaknya mudik.
      Meski pas dialog sama anaknya bilangnya iya gpp gak mudik, tapi di lain kesempatan rasa kangennya itu terungkapkan secara refleks, trus bilang kenapa sih takut virus, dst..
      Ya saking kangennya sama anak-anaknya.. hiks.
      Btw semoga lekas ada kesempatan untuk divaksin ya, Mbak. Sehingga bisa mudik. Tapi ya tetep jaga prokes biar semua aman :)

      Delete
  4. Akk kenapa sedih sekali mbak:((. Aq jd ngerasa ibuku juga berpikir demikian

    ReplyDelete
  5. Mbaaa aku kangen ibuk jadinya
    Tinggal jauhan bikin kangen.
    Pengennya bisa deketan, tapi apalah daya lagi ngabdi ngurus mwrtua

    ReplyDelete
  6. Baca ini ikutan sedih soalnya aku juga merasakan hal yang sama, Mbak. Walau dalam kasusku eyangku yang sering bilang kangen.

    Kayaknya orangtua saat sudah semakin menua lebih sering merasa rindu keramaian dan takut kesepian ya :")
    Kayak ya seneng aja gitu kalo liat anaknya ada di hadapan mata. Seneng kalo rame, kumpul bareng2. sementara resah kalo gak liat anak2nya berkunjung.

    Makanya kadang sedih banget. Pandemi bikin dilematis banget. Semoga semuanya segera membaik :")

    ReplyDelete
  7. Tulisan seperti surat ini mengingatkanku akan ending di film Korea berjudul A Long Visit. Turut ikut merasakan sepi dan rasa sedihnya, hiks.

    Aku jadi bertanya-tanya, ketika menjadi orang tua dan memiliki anak nanti yang mulai terpisah-pisah, apakah perasaanya akan seperti ini. Terkadang jika melihat orang tua sendiri, dari luar terlihat bisa menyembunyikan banyak perasaan-perasaan, namun sesungguhnya begitu pandai memendam.

    Apalagi krn pandemi skrg yg seakan jd menambah jarak, rasanya kalau bertemu akan puasin quality timenya dan benar menghabiskan waktu bersama. Semoga pula nanti kita semua bisa bertemu lebih lama kembali dengan orang-orang tersayang ya <3

    ReplyDelete
  8. Serasa ikut merasakan sedihnya ketika menempatkan diri di posisi orang tua. Kelak pasti ada kalanya anak-anakku juga terpisah sama aku, perasaan seperti ini mungkin akan ada

    ReplyDelete
  9. Tulisan ini mengandung bawaaaangggg :(((
    Aselik, can relate dgn curcol Bpk/Ibuk/ Embah/ Eyang kakung - Uti

    Berharap banget corona segera usai.
    semua sehaaaatt dan ngga ada pagebluk apapun
    Aamiiinn!

    ReplyDelete
  10. Entah bagaimana perasaan orangtua merindukan anaknya di hari lebaran. Saya paling takut dengan ini sehingga memilih mudik dengan beberapa persiapan yang memang diperlukan

    ReplyDelete
  11. Ibuku sekarang tinggal di kampung, di gunung. Alhamdulillah beliau paham kondisi pandemi seperti ini. Maka saat idul fitri tahun lalu juga sudah wanti-wanti kami untuk nggak pulang kampung dulu. Walau sebenarnya ibu dan kami pun sudah saling kangen. Antara kesehatan dan rasa kangen bertempur. Eeeaaa

    ReplyDelete
  12. Mbak, sedih amaaattttt. Dulu ortu Ibu kalau kami nggak pulang sedih sampe ngamuk2 gitu, kayak semua salah

    ReplyDelete
  13. uuuu aku biasanya pagi-pagi ngantar Ibu ke pasaaar
    takut kangeeeen

    orangtua selalu merindukan anaknya, apalagi saat lebaran

    ReplyDelete
  14. Dari setiap kata-kata dituliskannya dengan penuh aura kesedihan yang begitu nyata. Meskipun hanya tulisan, namun di dalam kepala, entah kenapa terdengar seperti lagu-lagu sedih penuh kerinduan akan kampung halaman.

    Ternyata tulisan tentang mudik bisa sesedih ini,
    Perihal rindu, terkadang rindu memang seperti itu, menawarkan kelabu yang tak berkesudahan, selalu menciptakan kelu ketika mengingatnya lagi tentang rindu.

    Rindu akan kampung halaman.

    ReplyDelete
  15. Aku nangis bacanya karena ingat juga nggak bisa mudik sudah beberapa kali
    Aku mau marah tapi bingung juga marah sama siapa

    ReplyDelete
  16. Orang tua itu selalu begitu ya, bilang gak papa saat kita gak bisa mudik tetapi di hati mereka yang terdalam sebenarnya kangen dengan anak-anaknya.
    Kita selaku anak memang harus peka, terlepas dari kondisi pandemi seperti sekarang ini ya, Mbak

    ReplyDelete

Terima kasih sudah berkunjung :)
Saya akan senang jika teman-teman meninggalkan komentar yang baik dan sopan.
Mohon maaf komentar dengan link hidup akan saya hapus ^^.