Memorabilia Cerita Mudik: Dari "Boyongan" Hingga "Kruntelan"


Saya mulai bersentuhan akrab dengan istilah mudik setelah menikah, sepuluh tahun yang lalu. Sebelumnya saya hanya mendengar cerita teman-teman atau saudara-saudara yang mudik. Lalu, dari pertama mudik hingga sekarang, ada beragam cerita mudik yang selalu terkenang. Dari cerita "boyongan" hingga mudik dengan model "kruntelan". Hahaha.

Sumber gambar: pixabay.com

Semua cerita mudik itu jadi memorabilia tersendiri buat saya. Peristiwa-peristiwa yang patut dikenang, sebagai bahan pelajaran atau sekadar untuk diingat-ingat karena manisnya peristiwa saat itu. Hehe. Tapi bagi saya, semua cerita mudik dari Sidoarjo (domisili kami saat ini) ke Nganjuk dan Kediri (kampung halaman suami) baik yang menyenangkan atau sebaliknya, kini berubah menjadi kenangan indah. Dan, berikut inilah beberapa cerita mudik saya selama kurang lebih sepuluh tahun terakhir 😊.

Mudik "Boyongan"

Mudik "boyongan" terjadi saat kami mempunyai anak pertama. Saat itu si sulung berusia setengah tahunan. Oh ya, kami mudik dengan menggunakan sepeda motor (memang punyanya kendaraan, ya, hanya itu. Hehe.). Saya ingat sekali, bawaan kami saat itu banyakkk sekali. Ada tas besar yang kami letakkan di bagian depan sepeda motor (di depan suami), lalu di belakangnya ada saya yang gendong si kecil plus bawa sebuah tas, kemudian di bagian belakang sepeda ada satu lagi tas besar.

Kurang lebih seperti ini model mudik "boyongan" kami 😅.

Tas besar yang di belakang ini disangga dengan kayu oleh suami biar enggak mudah jatuh. Tahu enggak, isi tas-tas itu apa saja? Kebanyakan, ya, baju-baju kami bertiga. Hihihi. Bawa oleh-oleh buat embah juga enggak seberapa. Tapi yang jelas bawaannya banyak dan memenuhi sepeda motor, deh. Bener-bener seperti orang boyongan (mau pindahan rumah). Hahaha.

Naasnya, perjalanan kami waktu itu lumayan macet. Dengan bawaan yang banyak, macet, kemudian siangnya panas sekali, membuat kami enggak nyaman di perjalanan. Tak sampai di situ, setelah panas yang terik, tiba-tiba turun hujan yang lumayan deras. Meski bawa jas hujan, kami pun berhenti sejenak karena takut barang-barang bawaan banyak yang basah. Akhirnya kami sampai di Nganjuk menjelang Maghrib setelah "berjibaku" di jalan sekitar 9 jam. Padahal normalnya perjalanan dari Sidoarjo ke Nganjuk adalah 3-4 jam saja. Tapi alhamdulillah, si kecil kami enggak rewel atau sakit sesampainya di Nganjuk.

Baca juga: Mudik Asyik dengan Berpartisipasi dalam Citizen Journalism.


Sumber gambar: pexels.com

Mudik "Kruntelan"

Cerita mudik lain yang berkesan adalah ketika kami memiliki tiga orang anak. Alhamdulillah saat itu suami sudah punya mobil pikap (yang sebenarnya ditujukan untuk keperluan pekerjaan). Model mobil pikap itu badannya agak lebar, dengan 3 tempat duduk (jok) di depan. Alhasil kami sering pula memakainya untuk bepergian, karena memang muat untuk dua orang dewasa dan tiga anak kecil. Ya, meskipun lumayan "kruntelan" alias desak-desakan. Hehehe.

Kami pun mudik menggunakan mobil pikap itu. Alhamdulillah lebih tenang mudik dengan kendaraan tertutup (daripada naik sepeda motor) dan milik sendiri (bukan naik bus). Karena kendaraan sendiri, kami mudik agak lama. Kami juga mudik ke Solo (kampung halaman saya), tetap menggunakan mobil pikap itu. Nah, kalau perjalanannya lama, terasa juga rempongnya naik pikap dengan model kruntelan. Repotnya ketika si nomer dua yang agak mabukan itu merasa ngantuk. Tempat duduk jadi terasa semakin sempit karena dia ingin tiduran. Huhuhu. Apalagi saat balik dari Solo ke Nganjuk, kondisi jalan macet lumayan lama. Hemm.. kasihan si kecil yang saat itu berusia satu tahunan.

Bahagia bisa menikmati perjalanan setenang ini saat mudik.

Tapi saat itu kami tak begitu merasakan ketidakenakan. Hanya sedikit merasa sempit. Solusinya, ya, kami sering berhenti untuk beristirahat dan "meluruskan" badan. Tapi secara keseluruhan, kami senang dan puas karena bisa ke mana-mana sesuka kami 😊. 

Mudik Singkat

Mudik singkat ini baru terjadi pada lebaran tahun kemarin. Karena anggota keluarga kami bertambah, yaitu ada anak keempat, jadi mobil pikap sudah tak bisa lagi menampung kami yang berenam. Solusi untuk mudik pun kami putuskan untuk menyewa mobil di rental mobil milik tetangga.

Dan mungkin semua sudah tahu, ya, bahwa biaya rental mobil di masa-masa lebaran naik tajam dibandingkan hari-hari biasanya. Yap biaya rental di hari biasa antara IDR 250-350 K, di masa lebaran menjadi satu juta per hari! Akhirnya kami pun memilih mudik singkat, yaitu sehari saja ke Nganjuk dan Kediri. Ya, singkat sekali, demi menghemat budget. Saudara-saudara pun maklum dengan kerepotan kami, yang biasanya mudik 3-4 hari kini hanya sehari semalam. Tapi tak apa, toh, kami enggak jarang, kok, pulang kampung. Meski bukan lebaran, kami kadang juga menengok kampung halaman.

Baca juga: 4 Hal yang Bisa Dilakukan Blogger Saat Mudik Agar Tetap Produktif.

Yap, itulah sebagian cerita mudik yang saya alami selama sepuluh tahun terakhir. Meski kadang kurang menyenangkan, tapi semuanya memberikan kesan dan pelajaran tersendiri buat kami. Misalnya, kalau mudik enggak perlu bawa pakaian banyak-banyak, secukupnya saja. Hehehe. Kalau teman-teman, apa saja cerita mudik yang berkesan? Share, yuk!



No comments

Terima kasih sudah berkunjung :)
Saya akan senang jika teman-teman meninggalkan komentar yang baik dan sopan.
Mohon maaf komentar dengan link hidup akan saya hapus ^^.