Candi Pari dan Candi Sumur, Cagar Budaya Indonesia di Tanah yang Subur


Menjejakkan kaki pada bangunan-bangunan bersejarah menimbulkan berbagai pertanyaan akan cerita-cerita zaman dahulu hingga perkembangannya kini. Bagaimana asal-usul sebuah bangunan yang kita kunjungi, bagaimana bangunan itu masih ada hingga kini, sampai kapan bangunan bersejarah itu bisa bertahan bersama terciptanya sejarah-sejarah baru, dan lain-lain. Demikian juga yang ada di pikiran saya ketika mengunjungi Candi Pari dan Candi Sumur di Sidoarjo.

Candi Pari (dokpri).


Selama ini (kurang lebih 9 tahun berdomisili di Sidoarjo), diantara kedua candi yang saya sebut di atas yang sering kami lihat adalah Candi Pari. Karena candi ini terletak di jalan utama desa. Saya dan suami sudah beberapa kali menemani anak-anak berenang di Kolam Renang Candipari, yang letaknya tak jauh dari Candi Pari. Sehingga kami pun sudah beberapa kali lewat di depan Candi Pari. Tetapi, baru bulan lalu kami sempat berkunjung ke candi tersebut.

Setiba di Candi Pari, kami disambut hangat oleh bapak juru parkir dan bapak penjaga candi. Oleh bapak penjaga candi, kami dipersilakan mengisi buku tamu sebelum melihat-lihat bangunan candi dan sekitarnya. Beliau pun mempersilakan kami untuk berkunjung ke Candi Sumur nantinya setelah dari Candi Pari. Karena letak Candi Sumur ternyata dekat sekali dari Candi Pari, yaitu hanya sekitar 50 meter saja. Lokasi keduanya berada di Desa Candipari, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur.


Di depan Candi Pari (dokpri).

Lokasi Candi Pari memang lebih stategis. Candi ini terletak di tepi jalan utama di desa itu, yaitu jalan yang biasa digunakan untuk transportasi antar desa. Sedangkan Candi Sumur lokasinya agak masuk ke dalam gang, dan di sekitarnya juga hanya ada gang-gang kecil.

Saat mengisi buku tamu, kami pun menggunakan kesempatan itu untuk sedikit bertanya mengenai Candi Pari dan Candi Sumur. Bapak penjaga candi yang sudah sepuh itu pun kemudian menceritakan sejarah singkat berdirinya Candi Pari dan Candi Sumur. Jadi, mari kita simak asal-usul kedua candi tersebut berdasarkan penuturan beliau dan tulisan yang terpampang di area Candi Sumur. Meski agak panjang tapi ceritanya menarik, kok 😊.

Bapak penjaga Candi Pari (dokpri).


Asal-usul Candi Pari dan Candi Sumur

Konon saat Kerajaan Majapahit masih berjaya, tersebutlah seorang lelaki tua bernama Kyai Gede Penanggungan yang hidup di pegunungan. Kyai ini mempunyai dua orang putri, yaitu Nyai Loro Walang Sangit dan Nyai Loro Walang Angin. Kyai ini juga punya adik seorang janda yang tinggal di desa Ijingan. Janda Ijingan ini mempunyai seorang putra yang bernama Jaka Walang Tinunu, yang setelah dewasa menjadi pemuda yang tampan dan hormat kepada ibunya. Tetapi ia tidak diberitahu oleh ibunya siapa ayahnya.

Suatu hari Jaka Walang Tinunu meminta izin kepada ibunya untuk membuka hutan yang akan dijadikan tempat tinggal dan lahan penggarapan sawah. Setelah ibunya mengizinkan, ia pun berangkat bersama kedua temannya lalu tinggal di Dukuh Kedungkras (sekarang bernama Desa Kesambi) dan berhasil membuka lahan di Kedung Soko (arah utara Kedungkras dan arah selatan Desa Candipari).

Suatu hari ketika Jaka Walang Tinunu dan kedua temannya mencari ikan, mereka menemukan seekor ikan kotok. Ikan ini kemudian diberi nama Deleg. Tetapi ternyata ikan itu bukan sembarang ikan, kerena bisa berbicara. Ikan itu mengatakan bahwa sebenarnya dia adalah manusia, yang dikutuk oleh seorang pertapa karena keinginannya menjadi seorang raja. Ia pun dikutuk menjadi raja, tetapi raja ikan. 

Atas perkataan Jaka Walang Tinunu yang menyatakan bahwa "Barangsiapa berasal dari manusia kembalilah menjadi manusia" maka Deleg berubah kembali menjadi manusia; seorang pemuda yang tampan. Deleg kemudian dinamakan Jaka Pandelegan, dan dianggap sebagai adik Jaka Walang Tinunu.

Selanjutnya Jaka Walang Tinunu dan Jaka Pandelegan bekerja sama mengolah lahan agar bisa menjadi sawah. Tapi sayang, keduanya belum mempunyai bibit padi untuk ditanam. Ketika Jaka Walang Tinunu meminta bantuan kepada Kyai Gede Penanggungan melalui istrinya, ternyata keinginan akan bibit padi itu tidak dikabulkan. Kyai Gede Penanggungan tidak percaya jika bibit tersebut akan dipergunakan untuk bersawah. Kyai hanya akan memberikan mendang (sisa kulit padi) kepada kedua pemuda itu.

Di lain pihak, kedua putri Kyai Gede Penanggungan ternyata jatuh hati pada Jaka Walang Tinunu dan Jaka Pandelegan. Maka kedua putri itu (Nyai Loro Walang Sangit dan Nyai Loro Walang Angin) pun membantu kesulitan kedua pemuda itu. Ketika keduanya diutus ayahnya untuk mengambilkan mendang, mereka mencampur mendang tersebut dengan bibit padi hingga tercampur sebanyak satu karung.

Setelah sampai di rumah, mendang (dan bibit padi) tersebut langsung disebar di lahan persawahan. Dan ternyata, bibit tersebut tumbuh dengan sangat baik, benar-benar seperti bibit padi yang sesungguhnya. Ketika Jaka Walang Pinunu dan Jaka Pandelegan meminta izin kepada Kyai Gede Penanggungan untuk dibantu kedua putrinya saat memindahkan penanaman padi, mereka tidak diizinkan. Tetapi kedua putrinya nekat ikut kedua pemuda itu. Karena sebenarnya Nyai Loro Walang Sangit ingin menjadi istri Jaka Walang Pinunu, sedangkan Nyai Loro Walang Angin ingin menjadi istri Jaka Pandelegan.


Candi Pari (dokpri).

Singkat cerita akhirnya sawah yang dikelola Jaka Walang Pinunu dan Jaka Pandelegan berkembang luas dan jenis tanaman padi yang dihasilkan sangat baik. Karena luasnya sawah, hingga orang-orang dari segala penjuru datang untuk membantu derep (memotong padi). Padi yang tumbuh pun konon tak ada habis-habisnya. Diceritakan, setelah padi dipotong, langsung tumbuh padi lagi. Hasil padi pun kemudian ditumpuk di penangan, yang berjumlah sangat banyak, sangat melimpah.


Hingga suatu ketika, Kerajaan Majapahit mengalami paceklik. Pertanian gagal dan banyak petani yang sakit. Lumbung padi dalam keraton yang biasanya penuh menjadi kosong karena luasnya sawah yang terkena penyakit dan gagal panen. Ketika Prabu Brawijaya mendengar bahwa di Kedung Soko berdiam seorang yang arif dan memiliki banyak padi, maka beliau memerintahkan patihnya untuk meminta penyerahan padi.

Sang prabu pun ingin tahu siapa pemilik sawah yang subur tersebut. Patih mengatakan bahwa pemilik sawah tersebut adalah anak seorang janda Ijingan. Serta merta sang prabu teringat masa lalunya, bahwa dulu ia pernah berhubungan dengan seorang perempuan di desa itu. Jaka Walang Pinunu dan istrinya pun kemudian datang ke kerajaan setelah diundang sang prabu. Dan seperti dugaan Prabu Brawijaya sebelumnya, ternyata Jaka Walang Pinunu memang benar adalah anaknya.

Prabu Brawijaya juga ingin mengundang Jaka Pandelegan dan istrinya ke kerajaan, dengan maksud akan dinaikkan derajatnya. Tapi Jaka Pandelegan beserta istri sudah berunding, bahwa mereka tidak akan mau datang ke kerajaan. Maka ketika patih dan pasukannya menjemputnya, Jaka Walang Tinunu bersembunyi. Dan ketika dikepung, dia bersembunyi di tumpukan padi di penangan, kemudian menghilang tanpa bekas. 

Begitu pula yang terjadi dengan istrinya, yaitu Nyai Loro Walang Angin. Ketika dikepung, dia meminta izin akan mengisi kendi (tempat air) terlebih dahulu. Namun kemudian dia menghilang tanpa jejak.

Candi Sumur (dokpri)

Prabu Brawijaya kagum demi mendengar cerita hilangnya (atau "moksa" dalam konsep agama Hindu, yang artinya kelepasan atau kebebasan dari ikatan duniawi dan lepas juga dari putaran reinkarnasi kehidupan) kedua suami istri tersebut. Maka untuk mengenang peristiwa tersebut, prabu memerintahkan untuk dibangunkan candi di kedua tempat menghilangnya suami istri itu. Jaka Pandelegan menghilang di penangan yang kemudian di sana didirikan Candi Pari. Sedangkan Nyai Loro Walang Angin menghilang di tempat mengambil air, yang kemudian di situlah didirikan Candi Sumur.

Namun, pembangunan kedua candi tersebut baru dapat terwujud pada masa pemerintahan Prabu Hayam Wuruk (1350-1389 M), yaitu sekitar tahun 1371 M atau tahun 1293 Saka.

Demikianlah, kisah asal usul berdirinya Candi Pari dan Candi Sumur.

Baca juga: Berenang dan Refreshing di Kolam Renang Jedong Cangkring Sidoarjo.


Kondisi Candi Pari dan Candi Sumur Saat Ini

Setelah membaca asal-usul Candi Pari dan Candi Sumur, kita jadi tahu bahwa berdirinya kedua candi tersebut berlatar belakang agama Hindu. Maka tidak heran masyarakat Candipari dan sekitarnya masih ada yang memeluk agama ini hingga sekarang. 

Kami lebih lama berada di Candi Pari. Karena bangunan candi ini berdiri di situs cagar budaya yang lebih luas daripada Candi Sumur. Hal ini tentu saja memakan waktu yang lebih lama untuk mengelilingi candi dan naik ke badan candi. Candi Pari yang ditemukan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda pada tanggal 16 Oktober 1906 tersebut dibangun untuk dijadikan simbol kesuburan desa. Karena sesuai dengan latar belakang ceritanya, bahwa produksi padi pada saat itu sangat melimpah sehingga mampu menyetor upeti yang banyak kepada raja Majapahit.

View dari badan Candi Pari (dokpri).
Fasilitas umum di Candi Pari (dokpri).


Kondisi Candi Pari saat ini tampak lebih terawat dan terlihat cantik karena penataan taman dan bangunan-bangunan pelengkap yang rapi. Di dekat pintu masuk ada sebuah gazebo yang bisa digunakan untuk beristirahat. Kemudian di dekatnya ada bangunan kantor penerimaan tamu yang bersebelahan dengan kamar mandi dan mushala. Sementara di luar pagar ada tempat parkir dan beberapa penjual makanan dan minuman yang tertata rapi.

Kondisi Candi Pari yang lebih cantik juga dikarenakan adanya pemugaran candi yang dilakukan pada tahun 1994-1996 oleh Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dan SPSP (Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala - yang kemudian berubah menjadi BP3 (Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala) dan berubah lagi menjadi BPCB (Balai Pelestarian Cagar Budaya)) Jawa Timur.

Peresmian purna pugar Candi Pari dilakukan oleh Menteri Kebudayaan dan Pariwisata pada era Presiden Abdurahman Wahid (Gus Dur), yaitu bapak I Gede Ardika, pada tanggal 1 Mei 2001.


Dokpri.

Perawatan dan pembenahan Candi Pari terus dilakukan, termasuk pembangunan pagar yang mengelilingi candi. Hingga seperti saat inilah Candi Pari yang layak dijadikan obyek wisata yang menarik.

Saat ini, selain sebagai obyek wisata Candi Pari juga dimanfaatkan sebagai tempat pengembangan dan pelestarian budaya dengan diadakannya festival budaya Sidoarjo. Festival ini diadakan setiap setahun sekali.

Bagaimana dengan Candi Sumur? Meski letaknya kurang strategis, tetapi perawatan candi ini juga enggak kalah baik. Candi Sumur yang sekarang terlihat bersih dan penataan tamannya pun rapi. Ketika kami berkunjung ke sana, ada beberapa orang (bapak-bapak) penduduk desa tersebut yang sedang bercakap-cakap di dalam area candi. Mereka menyambut dengan ramah kedatangan kami. Ini menandakan bahwa candi ini enggak sepi dari penjagaan warga.


Candi Sumur (dokpri).

Namun, disamping kondisi kedua candi yang baik tersebut, ada beberapa kekurangan dari dua cagar budaya Indonesia itu dilihat dari sisi pariwisata. Diantaranya sebagai berikut:
  • Minim petunjuk arah. Dari arah jalan raya, kami enggak menemukan petunjuk arah ke Candi Pari dan Candi Sumur. Hal ini kurang mempermudah calon wisatawan atau siapapun yang hendak berkunjung ke dua candi tersebut. Meski orang-orang bisa melihat Google Map atau bertanya pada warga, alangkah baiknya jika ada petunjuk arah di tempat-tempat tertentu.
  • Akses jalan sempit dan berada di area perkampungan yang padat. Ini akan menyulitkan pengunjung dalam jumlah besar yang menggunakan bus, misalnya. Karena jalannya memang kurang lebar. Namun jika jalan diperlebar, kemungkinan besar akan menimbulkan masalah baru, karena kedua candi itu terletak di tengah-tengah perkampungan warga yang padat.
  • Area parkir kurang luas. Area parkir di Candi Pari mengambil tempat di sebelah luar candi, yang merupakan jalan kampung yang diperlebar. Tapi tetap saja kurang luas jika ada rombongan pengunjung atau pengunjung sedang ramai. Apalagi di Candi Sumur, gang-nya lebih kecil daripada di Candi Pari. Otomatis semua kendaraan pengunjung kedua candi itu parkirnya di Candi Pari saja.
  • Minim informasi mengenai sejarah candi. Saat kami datang kemarin, bapak penjaga candi mengatakan bahwa fotokopian tentang sejarah candi kebetulan sedang habis. Jadi kami tidak tahu bentuk buku/lembaran itu seperti apa. Di dalam area candi juga tidak kami temukan papan atau batu dan sejenisnya yang memberikan informasi tentang sejarah candi. Hal ini tentu sangat disayangkan, karena wisatawan biasanya ingin tahu sejarah maupun perkembangan bangunan cagar budaya tersebut.

Area parkir di Candi Pari yang menyatu dengan jalan (dokpri).

Upaya Pelestarian Candi Pari dan Candi Sumur sebagai Cagar Budaya Indonesia

Candi Pari dan Candi Sumur telah berdiri ratusan tahun yang lalu (tepatnya berusia 648 tahun). Keduanya merupakan warisan budaya bagi bangsa Indonesia, yang didirikan oleh para leluhur di masa lalu. Kedua candi ini telah resmi menjadi bagian dari Cagar Budaya Indonesia yang harus dilestarikan keberadaannya.

Pengertian cagar budaya sendiri menurut UU No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya adalah "Warisan budaya bersifat kebendaan berupa Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar Budaya, dan Kawasan Cagar Budaya di darat dan/atau di air yang perlu dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan melalui proses penetapan.”. 

Sedangkan kriteria cagar budaya adalah sebagai berikut:
  • Berusia 50 tahun atau lebih.
  • Mewakili masa gaya paling singkat berusia 50 tahun.
  • Memiliki arti khusus bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan.
  • Memiliki nilai budaya bagi penguatan kepribadian bangsa.

Candi Pari dan Candi Sumur merupakan bangunan cagar budaya yang telah memenuhi semua syarat penetapan sebuah cagar budaya. Desa Candipari yang merupakan kawasan berdirinya dua bangunan candi tersebut dengan demikian juga termasuk dalam kawasan cagar budaya.

Maka sebagai cagar budaya, kedua candi tersebut beserta kawasannya harus dilestarikan. Pelestarian cagar budaya perlu karena cagar budaya merupakan kekayaan budaya bangsa sebagai wujud pemikiran dan perilaku manusia yang penting artinya bagi pemahaman dan pengembangan sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Cagar budaya perlu dilestarikan karena sifatnya yang rapuh, tidak terperbaharui, dan terbatas.

Selanjutnya pelestarian cagar budaya dapat dilakukan melalui upaya perlindungan, pengembangan, dan pemanfaatan dalam rangka memajukan kebudayaan nasional untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Nah, siapa saja yang berhak, bertugas, ataupun berwenang melestarikan cagar budaya? Secara garis besar ada tiga pihak yang berhak melakukan pelestarian cagar budaya, yaitu pemerintah, akademisi, dan masyarakat

Pemerintah telah punya aturan yang tertuang dalam Undang-undang Cagar Budaya, bagaimana seharusnya melestarikan cagar budaya Indonesia. Meski hingga saat ini belum ada Peraturan Pemerintah yang dapat mengakomodir pelaksanaan atas UU No. 11 tahun 2010, tetapi upaya pelestarian tetap dapat dilakukan dengan terus merawat cagar budaya melalui pengelola cagar budaya tersebut. Merawat agar cagar budaya yang telah ada tidak musnah begitu saja, namun diperpanjang usianya agar tetap lestari.


Candi Pari dilihat dari sisi jalan utama desa (dokpri).

Lalu kita, sebagai masyarakat umum, apa yang bisa kita kontribusikan dalam upaya pelestarian itu?

Dalam Pasal 54 UU No. 11 tahun 2010 disebutkan bahwa:
"Setiap orang berhak memperoleh dukungan teknis dan/atau kepakaran dari Pemerintah atau Pemerintah Daerah atas upaya Pelestarian Cagar Budaya yang dimiliki dan/atau yang dikuasai."

Sementara itu dalam Pasal 78 tertulis:

(1) Pengembangan Cagar Budaya dilakukan dengan memperhatikan prinsip kemanfaatan, keamanan, keterawatan, keaslian, dan nilai-nilai yang melekat padanya.


(2) Setiap orang dapat melakukan Pengembangan Cagar Budaya setelah memperoleh:
a. izin Pemerintah atau Pemerintah Daerah; dan
b. izin pemilik dan/atau yang menguasai Cagar Budaya.


(3) Pengembangan Cagar Budaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dapat diarahkan untuk memacu pengembangan ekonomi yang hasilnya digunakan untuk Pemeliharaan Cagar Budaya dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Dari pasal-pasal tersebut jelas bahwa masyarakat umum dapat berkontribusi dalam upaya pelestarian cagar budaya, dengan memperhatikan aturan-aturan yang ada dalam Undang-undang.

Baca juga: Wisata Edukasi Lingkungan Hidup di PPLH Seloliman.


Dokpri.


Bagaimana bentuk kontribusi masyarakat tersebut?
Saya sebagai salah satu masyarakat umum dapat memberikan gambaran apa saja upaya pelestarian cagar budaya secara konkrit. Diantaranya sebagai berikut:

❤️ Menjaga keberadaan cagar budaya dengan tidak merusaknya. Jangan sampai ada aksi coret-coret bangunan cagar budaya, membuang sampah sembarangan di bangunan dan situs cagar budaya, melakukan penghancuran pada bangunan cagar budaya, dan sebagainya. Kemudian jika menemukan kerusakan/hilang/musnahnya cagar budaya, agar mau melaporkan hal tersebut kepada instansi yang berwenang.

❤️ Mengajak anak-anak (baik bersama keluarga ataupun dengan pihak sekolah) untuk lebih sering mengunjungi cagar budaya. Agar mereka sebagai generasi penerus bangsa tahu dan paham akan cagar budaya dan bisa ikut melestarikannya baik sekarang maupun kelak saat dewasa.

❤️ Mengusulkan pada pengelola cagar budaya untuk memperbaiki hal-hal kecil tapi penting seperti:
  • Agar ada biaya masuk bagi yang belum ada. Seperti di Candi Pari dan Candi Sumur, selama ini biaya masuk masih seikhlasnya. Karena biaya masuk ini bisa dipergunakan untuk membantu upaya pelestarian cagar budaya (perlindungan, pengembangan, dan pemanfaatan). Meski ada dana khusus dari pemerintah, namun sumbangan dari pengunjung tentu dapat membantu upaya pelestarian tersebut.
  • Memberikan informasi yang lengkap tentang cagar budaya. Seperti pada Candi Pari dan Candi Sumur, saat ini informasi tentang sejarah candi maupun perkembangannya masih sangat terbatas. Karena informasi (sejarah) yang otentik harus dijaga agar tidak terjadi kesimpangsiuran sejarah di kemudian hari.
  • Memperbaiki sarana dan prasarana candi (seperti kekurangan di Candi Pari dan Candi Sumur yang telah saya uraikan di atas) agar dapat meningkatkan kunjungan wisata.

❤️ Sebagai masyarakat era digital, kita bisa berkontribusi lebih luas untuk melestarikan cagar budaya. Kaum milenial terbantu oleh banyak media;
  • Ada Google Maps yang bisa kita manfaatkan untuk memberikan ulasan yang baik atas cagar budaya yang telah kita kunjungi.
  • Ada media sosial (Instagram, Twitter, Facebook, dll) yang bisa kita manfaatkan untuk menyebarkan informasi, foto-foto maupun video terkait cagar budaya yang kita kunjungi.
  • Ada website atau blog yang dapat digunakan untuk menuliskan secara lengkap tentang suatu cagar budaya (seperti tulisan ini).
Memberikan ulasan di Google Maps (dokpri).

Penyebaran informasi-informasi yang menarik tentang cagar budaya di dunia maya tersebut diharapkan bisa meningkatkan awareness masyarakat untuk turut melestarikan cagar budaya. Kunjungan wisatawan pun diharapkan akan meningkat, sehingga cagar budaya bisa terus eksis di tengah banyaknya objek wisata lain yang bermunculan.


Kembali pada Candi Pari dan Candi Sumur. Meski keduanya merupakan bangunan cagar budaya yang relatif kecil ukurannya, tidak sebesar dan semegah Candi Prambanan ataupun Candi Borobudur, misalnya, tetapi kedua candi tersebut tetap memiliki nilai bagi sejarah bangsa Indonesia. Keduanya membuktikan bahwa Desa Candipari pernah menghasilkan panen yang melimpah. Bahwa desa ini punya tanah yang subur, dan menjadi bagian dari Indonesia sebagai negara agraris. Jadi, merawatnya agar tetap lestari adalah kewajiban kita bersama. Agar keduanya tidak musnah tergerus oleh zaman.

Nah, demikianlah tulisan saya tentang Candi Pari dan Candi Sumur. Teman-teman punya cerita tentang cagar budaya Indonesia juga? Share, yuk! Agar lebih banyak orang yang tahu tentang berbagai cagar budaya di Indonesia 😊.


Referensi:
  • Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya (http://www.bpkp.go.id/uu/filedownload/2/2/77.bpkp)
  • https://situsbudaya.id/sejarah-candi-pari-sidoarjo/
  • https://id.wikipedia.org/wiki/Candi_Pari
  • https://id.wikipedia.org/wiki/Moksa
  • https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpcbjatim/riwayat-singkat-balai-pelestarian-cagar-budaya-jawa-timur/





13 comments

  1. Cukup terawat juga Candi dan lingkungannya. Artinya perhatian pemerintah cukup baik yah

    ReplyDelete
  2. Menarik sekali sejarah dari Candi Pari semoga suatu saat bisa berkunjungbke candi ini.

    ReplyDelete
  3. Senang banget ada lomba ini, jadinya tahu banyak kekayaan Cagar Budaya Indonesia. Ternyata Sidoarjo juga punya cagar budaya sekeren ini. Semoga pas anak-anak kita sudah besar nanti, masih ada banyak orang yg bisa dan pintar menceritakan sejarah cagar budaya seperti Mba Diah. Salam kenal ya mba.

    ReplyDelete
  4. Salah satu objec pariwisata yang harus terus dilestarikan dan dikembangkan oleh kita semua... Dari wisata ini, kita bisa belajar banyak mengenai alam dan budaya. Terima kasih ulasannya, kak.. Menarik

    ReplyDelete
  5. Tradisi lisan Candi Pari dan Candi Sumur ini unik sekali. PAsti ada pesan di dalamnya yang perlu diurai. Kenapa Jaka Pandelegan dan istri tidak mau bertemu raja, ini misteri yang perlu dipecahkan dan mungkin memang ada jawabannya di tradisi lisan lainnya

    ReplyDelete
  6. Ini lokasi candinya di Sidoarjo, kak Deka?
    Aku hanyut dalam cerita Jaka Walang Tinunu yang merupakan anak Prabu Brawijaya.
    Zaman dulu tu...ga perlu tes DNA yaa...untuk membuktikan keyakinan bahwa memang dialah sang darah daging.

    **penasaran sama cara meyakinkan dirinya...

    ReplyDelete
  7. Dengan melihat cagar budaya apalagi yg bentuknya candi, peradaban majapahit itu terasa nyata ada dalam sejarah ya mbak, gak skedar baca ceritanya

    ReplyDelete
  8. Aku selalu terperangah dengan adanya candi. Entah bagaimana mereka mendasin dan membangunnya dengan presisi sama sisi dan berdiri lurus ke Puncak. Butuh perjuangan luar biasa untuk itu. Salut banget Dan kita patut menjaga dan merawat sih

    ReplyDelete
  9. Seumur2 tinggal di Surabaya baru kali ini aku tahu ada candi di Surabaya mbak. Sejarahnya menarik mbak. Penasaran itu kenapa anak2 gadis dikasi nama Walang hehehe. Menarik juga sejarahnya. Skrng lumayan terlindungi dan terawat yaa. Moga gtu terus selamanya

    ReplyDelete
  10. Candinya masih terjaga dengan baik ya kak dan banyak sekali nilai sejarahnya yang bisa diambil.

    ReplyDelete
  11. aku tertarik dengan konsep moksa ini.. baru tau bbrp waktu lalu, ternyata di jawa ada konsep ini yg spiritualitas bisa hilang beserta tubuh fisik ya

    ReplyDelete
  12. Ya ampun... jd orang jatim belum tahu dan blm pernah ke candi ini. Padahal dekat surabaya. Kemana aja ya aku ini?

    ReplyDelete
  13. Seru banget cerita Eny baca sampai selesai karena emang suka cerita rakyat seperti ini hhe

    ReplyDelete

Terima kasih sudah berkunjung :)
Saya akan senang jika teman-teman meninggalkan komentar yang baik dan sopan.
Mohon maaf komentar dengan link hidup akan saya hapus ^^.