Berlebaran yang Lebih Simpel di Mata, Simpel di Hati



Mudik tahun 2010, kurang lebih seperti ini kami dan barang bawaan kami (credit)


Saya ingat lebaran tahun 2010 yang lalu ketika anak pertama kami masih berusia kurang dari setahun. Saat itu adalah Idul Fitri kedua semenjak pernikahan kami. Sebagai pasangan suami-istri yang masih terbilang baru, kami pun belum begitu berpengalaman dalam acara-acara seputar lebaran seperti mudik dan yang lainnya. 

Pada saat mudik, kami ingin membawa oleh-oleh untuk nenek dan saudara di kampung. Kami memutuskan membawa satu box seukuran kardus air mineral berisi oleh-oleh. Kami juga ingin tampil maksimal ketika bersilaturahim di kampung. Maka kami membawa pakaian yang cukup banyak, dihitung perhari satu pasang pakaian. Padahal, kami mudik untuk sekitar 4-5 hari. Bayangkan betapa banyaknya pakaian kami bertiga (plus anak kami) yang masuk ke dalam tas. 

Kami mudik dengan mengendarai sepeda motor. Barang-barang bawaan yang banyak itu harus kami bawa dengan berbagi tempat bersama kami. Padahal, saya butuh tempat yang nyaman untuk menggendong anak kami yang masih bayi. Sehingga suami pun punya ide untuk membuat jok tambahan di bagian belakang sepeda motor untuk meletakkan barang. Oh, betapa rempongnya kami saat itu! Barang-barang bawaan yang terdiri dari 1 box dan 2 tas lumayan besar itu kami letakkan di depan (diapit suami) dan di belakang punggung saya. 

Tapi bukan hanya itu masalah mudik yang kami hadapi. Kami berangkat agak kesiangan yaitu sekitar pukul 09.00 pagi karena mengatur barang bawaan, dan ada sedikit perlu ke rumah teman sebelum mudik. Sehingga sampai di jalan raya kemacetan pun tak dapat kami hindari. Kami pun kadang keluar dari barisan kemacetan dan berhenti dulu untuk rehat karena kasihan kondisi anak kami yang mungkin kecapekan. 

Cerita mudik yang kurang asyik itu berlanjut ketika di siang hari ternyata cuaca tak bersahabat dengan para pemudik. Di siang menjelang sore itu, Allah SWT menurunkan hujan untuk mengguyur jalanan yang panas... Kami pun sempat kehujanan sebelum akhirnya berteduh. Namun karena hujan tak juga reda, kami tak menunggu sampai air benar-benar habis tercurah dari langit. Di antara gerimis hujan, kami menerobos jalanan yang licin. Suami pun sangat berhati-hati dan pelan-pelan dalam mengendarai sepeda motor. 

Alhasil, kami sampai di kampung halaman pada pukul 17.00. Perjalanan Sidoarjo-Nganjuk yang biasanya kami tempuh dalam waktu 2 hingga 3 jam, hari itu kami habiskan waktu 8 jam untuk menempuhnya. Luar biasa. 

Saya memang berusaha menikmati perjalanan mudik itu, tapi tak urung ada perasaan kesal setelahnya. Dan kekesalan saya ternyata berlanjut di kampung halaman. Entah karena terbawa emosi saat perjalanan mudik atau bagaimana, saya selalu tak betah jika diajak bersilaturahim ke rumah tetangga atau saudara-saudara. Suami seringkali mengobrol terlalu lama dengan mereka, sehingga silaturahim bisa dari pagi sampai sore, bahkan hingga malam hari (ke tetangga-tetangga dekat rumah). Begitu hampir setiap hari selama di kampung. Maklum, saudara kami memang lumayan banyak. 

Hingga akhirnya saya bilang ke suami, 
“Pokoknya lain kali aku gak mau mudik kalau bawa barang bawaan banyak!” 
Untuk yang satu ini suami sepikiran dengan saya. 

Saya juga bilang, 
“Aku juga gak mau silaturahim kalau kelamaan ngobrolnya!” 
Kali ini suami beralasan, 
“Kan emang sudah lama nggak ketemu sama mereka.. Jadi yaa ngobrolnya lama, dong..” “Ya enggak lama-lama kaliii…,” sahut saya kesal. 

Begitulah…. 

*** 

Lebaran tahun itu menjadi pelajaran yang cukup berarti buat kami. Kami berjanji untuk berlebaran dengan lebih simpel di tahun-tahun selanjutnya. Alhamdulillah, pada lebaran selanjutnya keinginan itu terwujud sedikit demi sedikit. Ya, sedikit demi sedikit karena kebiasaan membawa pakaian yang “cukup” ternyata masih perlu penyesuaian. Saya kadang juga masih “ngedumel” saat bersilaturahim, karena saya sudah capek tapi suami masih saja ingin lanjut silaturahim. 


Tahun 2015, kami happy saat mudik :)


Mungkin, jika diberi nilai, nilai terbaik dari proses belajar bagaimana menjalani “lebaran yang simpel” adalah di tahun ini. Ya, tahun ini kami benar-benar menikmati lebaran yang simpel. Mulai dari mudik hingga bersilaturahim ke sanak saudara. Meski tahun ini kami mudik berempat (anak kami sudah 2) dengan (tetap) mengendarai sepeda motor, tapi kami bisa meminimalisir barang bawaan. Sehingga kami tidak lagi rempong dengan urusan itu. Kami benar-benar membawa pakaian seirit mungkin. Kami juga tak membawa oleh-oleh untuk keluarga di kampung. Cukup diganti dengan uang saja, karena mereka juga paham bagaiamana repotnya kami jika membawa oleh-oleh dengan bersepeda motor. 

Soal bersilaturahim, saya belajar sedikit demi sedikit untuk ikhlas mengenai hal itu. Sejak kekesalan saya pada lebaran yang dulu, saya selalu belajar menikmati setiap momen silaturahim. Saya mengakali sendiri bagaimana jika kebosanan menyerang. Entah itu dengan mencari topik pembicaraan yang asyik dengan tuan rumah, bermain bersama anak-anak, atau mencicipi aneka makanan yang tersaji di meja tamu ;). 


Happy pula saat bersilaturahim :)


Saya belajar “legowo” jika keinginan saya tak terpenuhi. Kadang capek saya rasakan ketika bersilaturahim dan ingin rasanya segera pulang, di saat suami masih semangat melakukannya. Tapi saya berfikir “Bukankah silaturahim itu dianjurkan dalam Islam? Bukankah akan ada pahala bagi yang menyambung tali silaturahim?” Saya tak boleh egois. Saya juga harus menghargai keinginan baik dari suami saya. Maka saya belajar enjoy melakukannya. Dibawa ringan saja :). Akhirnya, saya pun mulai terbiasa. 

Alhamdulillah, Idul Fitri tahun ini insya Allah #LebihBaik dari lebaran tahun-tahun sebelumnya. Kami tampil simpel (tak perlu berpakaian serba baru dan bagus), mudik dengan simpel (tidak rempong dengan barang bawaan yang bejibun), dan dengan hati yang juga simpel, ikhlas. Sehingga, bisa dibilang lebaran kami tahun ini lebih simpel di mata, juga simpel di hati :).



Tulisan ini diikutsertakan dalam "Brighter Life Blog Competition"



6 comments

  1. Aku kebalikannya mak, seneng banget silaturahim karena pasti dapat rejeki :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya, Mak Leyla, sebenernya emang pasti dapet rezeki entah itu sekadar air minum :) tapi dulu itu emang kurang niat silaturahimnya, jadi capek bawa anak dijadiin alasan buat cepet pulang :)

      Delete
  2. memang kalo mau mudik, segala sesuatunya harus diperhitungkan terlebih dahulu ya, supaya nyaman

    ReplyDelete
    Replies
    1. Bener banget, Mak Dewi.. Persiapan fisik dan mental :)

      Delete
  3. waaah....ketemuan sama mbak Nunu ya...senangnya....btw, kalau lebaranku tetep rempong mbak...:D

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iyaa, Mbak Nunung.. alhamdulillah bisa ke rumah mbak Nunu :)
      Rempong krn banyak anak ya Mbak, hihihi.. Tapi dibikin asyik n seru aja kali yaa.. Rame gitu loh mudiknya :D

      Delete

Terima kasih sudah berkunjung :)
Saya akan senang jika teman-teman meninggalkan komentar yang baik dan sopan.
Mohon maaf komentar dengan link hidup akan saya hapus ^^.