Dari Pengalaman, Saya Belajar Menyeimbangkan Suka dan Duka



Perasaan menjadi manusia paling menderita pernah saya alami. Fisik yang teramat sakit, ditambah batin yang terbebani dengan berbagai perasaan yang menyudutkan diri sendiri. Sempat pula mempertanyakan, apakah diri ini begitu banyak dosa, hingga Allah subhanahu wa ta'ala menghukum dengan cara itu? Padahal, ujian yang saya alami ketika itu tak seberapa jika dibandingkan dengan ujian-ujian mereka di luar sana.

Saya merasa sakit jiwa raga ketika harus menjalani operasi caesar saat melahirkan anak pertama. Mungkin terdengar lucu bagi sebagian orang. Bukankah hal itu bukan kasus yang langka? Banyak ibu-ibu lain yang juga mengalaminya? Tapi, bagi saya yang saat itu baru mengalaminya pertama kali, sungguh, saya merasa sedih sekali. Fisik yang sakit pasca operasi, juga psikis yang belum bisa menerima sepenuhnya mengapa harus melakoni kisah persalinan yang tidak saya inginkan sebelumnya, membuat saya terpuruk.

Saya juga pernah merasa sedih sekali ketika harus kehilangan dompet. Dompet kesayangan satu-satunya itu raib dicopet orang jahat di dalam kendaraan umum. Segala pernak-pernik kecil yang terselip di dompet "alay" tersebut hilang bersamaan dengan kenangan-kenangan masa muda di dalamnya.

Saya juga pernah sedih berkali-kali akibat kalah dalam lomba menulis atau lomba blog, sedih karena tak kunjung memiliki barang-barang impian, dan kesedihan-kesedihan yang lainnya. Saya sering mengalami masa-masa "roda di bawah".

Tapi, roda kehidupan memang selalu berputar. Enggak jarang pula saya mengalami masa-masa "roda di atas". Seperti cerita persalinan kedua. Setelah pengalaman menyedihkan saat melahirkan anak pertama, saya berkesempatan menjalani persalinan normal saat melahirkan anak kedua. Bahagia tak terkira rasanya. Segala puja dan puji terlantun tiada henti untuk Allah Yang Maha Kuasa. Segala bentuk ungkapan syukur tersebar ke orang-orang yang saya jumpai.

Saya juga pernah terlampau bahagia saat terpilih menjadi salah awardee atas skripsi terbaik tingkat nasional selepas kuliah dulu, atau bagaimana senangnya ketika bisa menjadi pemenang lomba blog, atau bagaimana bahagianya menceritakan tahap demi tahap tumbuh kembang anak yang saya rasa sangat mengagumkan.


Credit from pixabay.com.


Belakangan, saya malu sekali jika mengingat sebagian sikap dan pemikiran saya di masa lalu. Saya seringkali gampang sekali mengeluh. Atau sebaliknya, kadang terlalu bergembira atas suatu pencapaian tertentu. Hingga bahkan mungkin terlihat norak di mata orang lain. Seperti ketika harus menjalani operasi caesar dan proses pemulihannya, rasa sedih tak kunjung hilang dari hati dan pikiran saya. Hingga suami harus berulangkali menguatkan saya. Padahal, jika saya mampu positive thinking, ada banyak hal yang bisa menjadikan saya untuk lebih bersyukur.
Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan? (QS. Ar-Rahman)

Sejatinya selalu ada celah untuk bersyukur. Ketika melihat ke dalam diri sendiri, ada banyak hal yang menjadi alasan untuk bersyukur. Saya masih bisa menyaksikan anak yang sehat dan lucu, masih bisa makan dan minum, bisa bernafas, bisa beribadah, dan sejuta kenikmatan lain dari-Nya. Saya malu sekali jika mengingat betapa mudahnya saya dahulu mengeluh.

Sebaliknya, saya juga sering terlalu bergembira hingga kadang terlihat egois. Bagaimana ketika saya menyaksikan tumbuh kembang si sulung yang bagus. Bagaimana tetangga-tetangga memuji fisik dan kecerdasan si kecil. Lalu saya merasa berbangga diri, berlebihan. Dan merasa seolah-olah anak saya lebih baik dari anak orang lain. Astaghfirullah. Saya malu sekali jika mengingat hal itu. Padahal, Allah subhanahu wa ta'ala telah berfirman, 
Maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia Maha Penerima taubat. (QS. An-Nashr: 3) 

Bahwa jika kita memperoleh kebahagiaan atau kemenangan, hendaknya kita bersyukur dengan mensucikan nama-Nya dan memuji-Nya, lalu memohon ampun pada-Nya. Memohon ampun agar tidak jatuh pada kesombongan diri.

Ya, seiring dengan berjalannya waktu, kejadian demi kejadian, pengalaman demi pengalaman mengajarkan kepada saya bagaimana sebaiknya berpikir dan bersikap. Saya belajar menyeimbangkan suka dan duka. Bahwa kita enggak boleh mudah patah semangat ketika terpuruk, dan enggak boleh terlalu bergembira atau bahkan egois ketika sedang berada di "atas". Bersikap sewajarnya saja, berusaha seimbang menyikapinya, karena itu semua datangnya dari Allah Yang Maha Memberi. Tidak ada kesedihan ataupun kegembiraan kecuali Dia yang memberikan. Tak ada ujian yang melebihi kemampuan kita mengembannya, juga tak ada kebahagiaan yang melebihi kapasitas kita. Semua sudah sesuai takaran-Nya.


#RenunganMalam


1 comment

  1. Terima kasih Mbak, sudah diingatkan untuk bersikap sewajarnya yaaak. Sehat selalu Mbaaaae

    ReplyDelete

Terima kasih sudah berkunjung :)
Saya akan senang jika teman-teman meninggalkan komentar yang baik dan sopan.
Mohon maaf komentar dengan link hidup akan saya hapus ^^.