Nostalgia Janji


Saat ini kumencoba
Ingkari hari dengan janji
Untuk wujudkan semua impian
Yang selalu menggoda, slalu menggoda


Kukayuh sepedaku sedikit kencang. Aku tak ingin terlambat. Aku masih harus ke rumah mbak Santi, lalu setelahnya baru ke rumah ustadzah Liza. Enggak boleh terlambat! Aku bukan tipe itu! Dan aku tak ingin terlihat memalukan di mata mereka semua. 

Pukul 15.30 aku sampai di rumah mbak Santi. 
“Sudah siap?” tanya mbak Santi sembari tersenyum simpul. 
“Insya Allah, sudah, Mbak.” 


Takkan kulepas lagi
Semua waktuku dan waktumu
Disaat kita dipacu rindu
Semakin dalam, semakin dalam



Ustadzah Liza sedang menyapu halaman rumahnya ketika kami sampai. Wajah bersahabatnya membuat hatiku adem. Kami belum saling mengenal, tapi aku merasa akan bisa nyaman berbagi cerita dengannya setelah kami duduk bertiga. Beliau sudah tahu tentangku dari mbak Santi. Tapi aku, belum tahu dan mungkin tak perlu tahu terlalu jauh tentang ustadzah Liza ini. Karena akulah “lakonnya” kali ini.




Oh janjiku, takkan kulepas
Selamanya
Oh janjiku, ku ikuti kata hatiku


Tepat pukul 16.00, kami sudah bersiap. Suami ustadzah Liza juga sudah pulang dari kantornya. Tapi... yang kami tunggu belum datang. Lima menit, sepuluh menit, lima belas menit... Ah, dia belum datang juga! Ya, kami menunggu dia, dan satu orang lain yang menemaninya. Kami menunggu dua orang lagi untuk pertemuan kali itu.


Sekitar lima belas menit kemudian dua orang yang kami tunggu datang juga. Dalam hatiku berjanji, aku harus menanyakan perihal keterlambatannya! Karena ini lumayan mengecewakanku.

.....
.....
.....
"Berapa menit batas toleransi keterlambatan?"

Sejenak sepi.

"Ada alasan kenapa kami terlambat. Jadi...."

Ah, sudahlah. Aku kurang suka dengan jawaban itu. Maka kalimat-kalimatnya tak kusimpan baik dalam memoriku.


Credit from pixabay.com


Kupikirkan kembali, tentang semuanya. Tentang orang-orang yang mempertemukan data diri dan foto kami berdua. Tentang omongan orang-orang itu, bahwa dia baik. Dia shalih. 
Tapi, ada titik-titik kekecewaan dari pertemuan pertama tadi. Tentang ketepatannya memenuhi janji, tentang pandangannya terkait adat di keluarganya, tentang... tentang... ada beberapa yang masih mengganjal di benakku.

Kali ini, kukayuh sepedaku pelan. Menikmati udara petang yang mulai dingin. Entah kenapa justru lagu GIGI yang terngiang-ngiang di kepalaku. Hahaha. Bukannya firman-firman-Nya yang begitu agung tentang sebuah janji, yang baru aku ingat belakangan...
"Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad (janji) itu." (QS. Al-Maidah: 1) 
"... dan penuhilah janji, sesungguhnya janji itu pasti dimintai pertanggungjawabannya." (QS. Al-Isra':34) 
Bagiku, dan mungkin juga bagi banyak orang lain, janji sama persis dengan utang. Harus ditepati. Kalaupun meleset dalam memenuhi janji, sampaikan alasan sebelum orang yang kau kecewakan bertanya mengapa. Meski ini tampak sepele, tapi bisa bikin kecewa. Karena menunggu itu menjemukan!



Oh janjiku, takkan kulepas
Selamanya
Oh janjiku, ku ikuti kata hatiku


Tapi... kejadian hari itu hanyalah sebuah titik. Aku harus memaksa diri untuk mengakui demikian. Karena nyatanya, masih ada garis panjang tentang kebaikannya, kedewasaannya, kesungguhannya. 

Baiklah, tak ada alasan fundamental bagiku untuk menolaknya.


***


Hai, teman-teman :)

Tulisan kali ini memang agak berbeda, ya. Haha. Oke, ini memang kisah nyata, sih. Cuma nama-namanya saja yang fiktif belaka :D.
Lalu, apa yang bisa diambil dari pengalaman saya di atas? TERSERAH! Haha.
Saya hanya ingin berpesan buat yang masih single, saat proses ta'aruf (perkenalan) dengan calon suami/istri, cobalah mencari tahu pandangan-pandangan atau sikap-sikapnya dalam menghadapi sesuatu. Kalau ada yang enggak cocok, coba kompromikan, bisa diselaraskan enggak dengan prinsip kita? Ya, semacam itulah.
  
Oke, semoga tulisan pendek ini ada manfaatnya, ya :)

Oh iya, tulisan ini merupakan bagian dari Collaborative Blogging Kumpulan Emak Blogger (KEB). Menanggapi tulisan di web KEB yang berjudul "Tidak Bisa Tepat Waktu? Lakukan Hal Ini Jika Terlambat Datang Saat Janjian" ditulis oleh Mak Irna Octaviana Latif (Irly). 



14 comments

  1. bener banget tuh mba. janji memang harus ditepati makanya kita gak boleh gampang buat janji

    ReplyDelete
  2. Urusan tepat waktu memang masih jadi PR besar banget di manapun, nih

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya, godaannya ada aja ya, Mbak. Sukanya meleset aja. Hihihi.

      Delete
  3. eealah fiktif to namae tiwas hahha,

    ReplyDelete
    Replies
    1. Namae aja yg fiktif. Kisahnya nyata, kok. Jangan khawatir. Hahaha.

      Delete
  4. Dulu saya termasuk ketat loh dalam urusan janji. Telat 5 menit dari janji, udah langsung tak tinggalkan. Sadis, euy. Tapi sekarang semakin melunak, biasanya urusan anak-anak membuatku tak sebebas waktu masih lajang dulu.
    Tapi sepakat dengan pendapat di atas, janji itu adalah utang yang harus ditunaikan.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya, Mbak. Sama dong dengan aku, semenjak jadi emak-emak, idealisme udah banyak yg mengendur, jadi lebih fleksibel dan menurunkan standar. Hehehe.

      Delete
  5. Ini maksudnya mau taaruf tapi ikhwannya ngaret gtu?
    Apa aku yg salah baca ya xixixixi ^_^v

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hihihi. Alhamdulillah kalo ketangkep ceritanya :D

      Delete
  6. Janji adalah hutang juga ya...makasih dah diingetin mbak...😊

    ReplyDelete
  7. Tepat waktu atau tidak gimanapun menjadi hal yang akan memberikan kesan terhadap teman janjian. Baik atau buruk, harus selalu diusahakan yang baik. :)

    ReplyDelete

Terima kasih sudah berkunjung :)
Saya akan senang jika teman-teman meninggalkan komentar yang baik dan sopan.
Mohon maaf komentar dengan link hidup akan saya hapus ^^.