Belajar Warna-warni Stratifikasi Sosial dari Teman Sebangku


http://www.dekamuslim.com/2017/05/belajar-warna-warni-stratifikasi-sosial.html


Belajar Warna-warni Stratifikasi Sosial dari Teman Sebangku
Saat lulus dari SD, saya langsung mendaftar di salah satu SMP favorit di kabupaten saya. Saya enggak mau sekolah di SMP kedua kakak saya, karena nilai kelulusan saya lebih tinggi dari mereka. Hihihi. Kecil-kecil udah sombong, ya :D. Sekolah mereka memang termasuk favorit juga, tapi saat itu levelnya masih di bawah sekolah impian saya. Alhamdulillah, saya pun kemudian diterima di sekolah impian itu, yaitu SMP Negeri Bekonang (sekarang namanya SLTP N 1 Mojolaban). Salah satu sekolah favorit di daerah saya, yaitu Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah.


Tapi, ternyata realita tak seindah bayangan saya. Sekolah impian saya itu kondisinya tidak lebih baik dari sekolah kedua kakak saya (hahaha… kesombongan saya sepertinya terbalas). Saya kecewa saat tahu kondisi sekolah, terutama ruang-ruang di Kelas 1. Kalian tahu, temans? Di semua ruang kelas 1, kursi-kursinya berbentuk memanjang tanpa sandaran. Satu kursi panjang itu disediakan untuk duduk 3 orang anak! Duh, enggak enak banget! Sudah duduk bertiga, enggak bisa sandaran lagi. Kalau mau sandaran, ya, harus nyandar ke meja di belakangnya :D. 

Saya memang bukan anak orang kaya. Malah termasuk miskin saat itu. Tapi, melihat fasilitas sekolah yang katanya favorit ternyata "hanya" seperti itu, dalam hati saya ingin protes. Sekolah favorit dengan biaya masuk juga enggak murah-murah amat, ternyata fasilitasnya masih seperti itu? Tapi karena saya anaknya "nrimoan" (bahasa Jawa, artinya mudah menerima), saya pun enggak curhat ke orang tua apalagi protes ke sekolah. Hemm... saya diam saja.

Namun semua hal memang ada sisi positifnya, jika kita memang mau melihat dari sudut pandang yang berbeda. Ya, saya bisa langsung punya dua teman baru yang duduk sebangku dengan saya, bukan hanya satu. Dan, dua teman itu juga langsung menjadi teman dekat saya. Yah, semacam ada blessing in disguise gitu. Hihihi.

Saat itu saya sudah berhijab (dan merupakan satu-satunya anak yang berhijab di kelas), sedangkan dua teman sebangku itu berpakaian pendek sama seperti teman-teman yang lain. Entah bagaimana pandangan mereka terhadap saya, mereka tampak menghormati saya. Jadi meskipun kami langsung akrab, tapi kedua teman saya itu memanggil saya dengan sebutan "Mbak". Hihi, terdengar agak lucu di telinga saya.

Seiring waktu, saya semakin akrab dengan Nur dan Fitri, kedua teman sebangku itu. Kami pun sering main ke rumah masing-masing. Saya jadi tahu rumah mereka, sebaliknya mereka pun demikian juga. Mereka tahu kalau rumah saya sederhana, keluarga saya pun biasa-biasa saja. Saya juga kemudian tahu kalau Nur anak orang kaya, terpandang dan terhormat di lingkungannya. Sedangkan Fitri juga anak orang yang cukup berada. 

Saat catur wulan (sekarang semester) pertama usai, Nur dan Fitri saling berkomentar.
"Orang tuanya mbak Diah pasti seneng, ya, punya anak yang baik dan pinter." (saat itu saya ranking 1).
"Iya, nanti kalo sudah gedhe bisa sukses."

Saat itu, ukuran sukses menurut kami adalah kaya. Hahaha. Lalu sambil tersipu saya bilang, 

"Iya, siapa tau, ya, besok aku bisa sukses. Kata guru SD ku dulu, hidup itu selalu berputar. Kadang di bawah, kadang di atas."
Nur yang anak orang kaya itu menimpali,
"Tapi dari kecil, hidupku gak pernah susah, tuh, Mbak. Gak pernah di bawah kayaknya."

Oh my God. Anak ini... Maksudku, kan... Aku ingin menghibur diri. Hehehe.


Gambar dari pixabay.com.


Tapi kemudian saya berpikir, memang banyak orang yang selama hidupnya selalu kaya, ada pula yang selalu miskin, atau yang pernah kaya kemudian jatuh miskin, dan sebaliknya. Entah disadari atau tidak, orang-orang di sekitar akan memberikan label pada mereka, apakah orang tersebut masuk golongan kaya, miskin, terhormat, punya jabatan tinggi, punya pengaruh kuat di lingkungannya, sampah masyarakat, dan sebagainya. Status sosial akan terbentuk dari kondisi-kondisi itu.

Kini, setelah sekian tahun berlalu dari obrolan bersama teman sebangku dalam seragam putih-biru, saya mungkin bukan termasuk dalam golongan orang kaya. Berada di status sosial mana pun, saya tak peduli. Karena bagi saya yang terpenting bukan itu, tapi selalu dan tetap bersyukur atas setiap kondisi dan apa-apa yang telah dipunya. 

Dan ketika melihat orang lain, saya tidak serta merta melihat status sosialnya. Entah dia kaya atau miskin, punya jabatan tinggi atau pegawai bawahan, dan sebagainya, saya berusaha bergaul dengan baik pada mereka. Yang jelas, sejak obrolan itu saya jadi bertambah perhatian dengan lingkungan sekitar. Dan, saya belajar warna-warni stratifikasi sosial dari teman sebangku :).



2 comments

  1. karena ada takdir pertemuan dari skenarionya utk ajang berbuat kebaikan...selayaknya status sosial bukan menjadi penghalang bergaul hehe ... happy holiday

    ReplyDelete
  2. catur wulan. Duh, udah lama banget saya gak dengan kata itu Mbaa, *ketahuan umurnya deh, hahaha

    memang ada orang yang ditakdirkan gak pernah kekurangan dalam hal materi yaa Mbaa, contohnya keluarga Bakri, hihihi :D

    ReplyDelete

Terima kasih sudah berkunjung :)
Saya akan senang jika teman-teman meninggalkan komentar yang baik dan sopan.
Mohon maaf komentar dengan link hidup akan saya hapus ^^.