Anak-anakku adalah Tanggung Jawabku



credit


“Mii…! Tolong suapin akuuu….!” 
“Lho, kan Faiq sudah bisa makan sendiri?? Ayo dong dimaem sendiri?!” 
“Enggak mau!” 

Saat ini usia Faiq sudah 4,5 (empat setengah) tahun, sebenarnya dia sudah bisa makan sendiri sejak usia 3 tahun. Tapi sayangnya seringkali dia masih minta disuapi. Kebiasaan makan sendiri di Play Group ternyata belum membuatnya bisa mandiri juga di rumah. Apalagi sejak kehadiran adiknya, Faiq kadang tambah “ngalem” (manja). 

“Umi lagi nyuci piring, nih.. Ayo, dong, maem sendiri..” 
“Minta disuapin Umi!” 
“Ayolah, Nak…” 
“Umiii!!!” 

Faiq mulai merengek, kemudian menangis dan berteriak-teriak. Sebenarnya nanggung sekali, ketika tangan masih kotor dan basah mencuci piring, harus meladeni Faiq di ruang makan. Tetapi akhirnya saya tak tahan mendengar tangisan dan teriakannya. Saya pun “terpaksa” tergopoh-gopoh mendekati si sulung saya itu, lalu menyuapkan sesendok risoles yang -padahal- telah saya iris-iris kecil sebelumnya. 

“Habis ini Faiq mandi, ya? Tuh, liat, udah mau jam 7.” 

Dia mengangguk. Saya lega. Sembari menyuapi Faiq, saya mondar-mandir menyelesaikan urusan dapur. Memasak, mencuci piring, dan menyiapkan bekal Faiq untuk belajar di Play Group. Ah, seandainya saya punya tangan sebanyak gurita, hihihi.. (eitsss... nggak boleh berkhayal, ya). Begitulah, kadang hanya karena alasan sepele pun, tantrum Faiq bisa kumat. Sehingga saya harus sabar dalam melatihnya mengenai hal ini. 

“Huwahuwaahuwwaaa….” 

Tiba-tiba suara tangis si kecil Fahima -yang saya bayangkan iramanya seperti gambar gelombang tranversal, naik turun teratur- ikut terdengar. Fahima ini memang tak bisa ditinggal kalau lagi melek. Jadi saya juga harus mondar-mandir menghampirinya di sela acara dapur saya plus menyuapi kakaknya. Ah, untung suami yang sedari tadi sibuk di depan segera datang dan mau membantu menggendong Fahima, jadi sedikit berkurang kerepotan saya. 

Namun huru-hara belum selesai, acara mandi pagi Faiq pun harus diwarnai dengan teriakan-teriakan kecil saya. Waktunya sudah mepet, eh, Faiq masih ingin “main kejar-kejaran” dengan saya. Meskipun, tadinya dia bilang setuju untuk segera mandi. Ada saja alasannya untuk menunda mandi. 

“Ayo, Mi, tangkep akuuuu…!!” teriaknya sambil tertawa-tawa. 
“Pakai air anget, lho, Mii… Masakin dulu…” 
“Aku mau ee’ dulu…” 
“Mandinya habis liat Masha, yaaa?” 

Dan ocehan-ocehan lainnya yang membuat saya harus bisa menahan marah jika tak ingin dia menangis lagi, dan menjadikan suasana tambah kacau. Waktu ganti baju pun sama saja, mesti kejar-kejaran dulu. Haduuhhh…. 

“Tet tot! Tet tot!” 

Nah… kalau yang itu lain lagi. Mbak tukang sayur lewat! Yup, saya pun harus bergegas ke depan rumah untuk membeli sayur dan lauk untuk besok pagi. Melesat ke luar rumah barang 5 sampai 10 menit, untuk kemudian kembali lagi ke dalam rumah dan melanjutkan menikmati huru-hara di pagi hari. Huru-hara akan mereda jika si sulung telah berangkat ke Play Group dan si kecil sudah mandi :).


Main-main bersama Abi :)

Untuk menghasilkan "tampilan" seperti ini saja, butuh tenaga "ekstra keras" :D


Anakku, Tanggung Jawabku 
Itulah suasana hectic yang hampir setiap pagi saya jalani, yang saya tahu pasti juga dialami oleh kebanyakan ibu-ibu lain dengan kondisi seperti saya. Kadang kepala serasa mau pecah. Antara takut terlambat menyiapkan segala keperluan si sulung untuk ke Play Group, dan keharusan menyelesaikan urusan rumah tangga sepagi mungkin. Karena kalau sudah siang si kecil sulit sekali untuk bisa ditinggal, dia maunya nempel terus bersama saya. Dan semua itu saya lakukan dalam waktu yang terbatas di antara rengekan dan atau tangisan dua bocah. 

Apakah saya tinggal berempat saja di rumah? Sehingga saya mengerjakan semua itu hanya bersama suami? Sebenarnya tidak. Ada ibu dan bapak saya yang tinggal bersama saya. Lalu kenapa serepot itu? Bukankah enak, ada ibu yang membantu membereskan urusan dapur dan yang lainnya? 

Mungkin bisa saja seperti itu. Tapi saya berpedoman, “anak-anakku adalah tanggung jawabku”. Ya, meski saya tinggal serumah dengan orangtua, tapi saya tak ingin merepotkan mereka. Anak-anak saya harus menjadi tanggung jawab saya dan suami sendiri. Apalagi sekarang mereka berdua telah lanjut usia, yang kadang sikapnya berubah menjadi seperti anak kecil. Sehingga bila selepas shubuh mereka istirahat kembali, saya maklum. Atau kadang ibu tak mau peduli dengan kerepotan saya menyiapkan bekal si sulung, saya juga tak mengapa. 

Semenjak saya berhenti bekerja ketika si sulung berusia satu tahun, saya memang telah bertekad untuk membesarkan anak dengan tangan sendiri. Saya ingin mengurus mereka, mengasuh dan mendidik mereka dengan cara-cara yang saya tahu. Saya tak ingin membebani orangtua, karena kelak jika kami -saya dan suami- menduduki posisi mereka (menjadi nenek-kakek, insya Allah), kami juga belum tentu mampu membantu tumbuh kembang cucu-cucu kami. 

Bila menjelang tidur, saya sering memutar kembali rekaman ingatan atas aktivitas sehari-hari bersama anak-anak. Kadang ada rasa kesal, gemas, lucu, mengundang tawa, dan segala rasa yang lain, yang pada akhirnya saya menyimpulkan, betapa bahagianya saya memiliki mereka. Mereka adalah amanah dari Allah yang begitu indah. Tingkah polah mereka kelak akan saya rindukan. 

Huru-hara di pagi hari seperti di atas, misalnya. Seperti yang sering saya dengar dari para ibu yang telah memiliki anak-anak yang sudah dewasa, konon katanya justru keributan-keributan di waktu kecil seperti itulah yang kelak akan kita rindukan. Kebersamaan bersama anak-anak seperti itu kelak akan menjadi kenangan indah bagi masa depan, setelah anak-anak tumbuh dewasa. Ah, betapa indahnya. 

Maka di sela kerepotan dan keributan-keributan itu saya selalu bersyukur, saya bahagia, bahwa Allah telah memberikan amanah itu kepada kami. Kami akan membesarkan dan mendidik anak-anak itu menjadi pribadi-pribadi yang shalih-shalihah. Dan kami pun tak akan menyia-nyiakan amanah itu dengan selalu berusaha membangun kedekatan bersama anak-anak semampu kami. Karena mereka adalah buah hati kami, amanah kami, tanggung jawab kami.



Tulisan ini diikutsertakan dalam 

"GA Every Mom Has A Story #stopmomwar"



18 comments

  1. Sammmaaaa... huru haranya juga saya rasakan di rumah Mbak :D

    ReplyDelete
  2. Kebayang ramenya tuh suasana pagi di rumah mbak. Selamat ya mg GA nya menang :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ya begitulah, Mbak AO.. kayaknya hampir semua ibu ngerasain hal yang sama :)
      makasih, Mbak.. aamiin.. :)

      Delete
  3. Numpang curhat dimari ya Bun..
    Aiiih sama persis aku juga gitu mak, padahal baru satu... Ternyata anak kita sama ya, kalau mau mandi ada acara mau ke toilet dulu, habis nonton tv dulu, nunggu air baknya penuh, takut kecoa yang tiba2 lewat pintu kamar mandi, deeuh macam2 alasannya, trus sebelum masuk kamar mandi pertanyaan penting "Kenapa sih Ail harus mandi" hampir setiap harideh pertanyaan yang sama dilontarkan, kenapa begitu kenapa begitu, eh sudah masuk kamar mandi (biasanya dia suka mandi sendiri) lamaaaanya minta ampun, pernah setengah jam Ail ngeram dikamar mandi, g tau ngapain aja tapi setiap saya tanya dia jawab lagi sabunan, sikat gigi, sampoan, sampai2 suka telat kalau mau berangkat kesekolah, tapi mak satu hal yang harus kita syukuri dan nikmati, moment2 kaya gini g akan terulang lagi ya Bun, saya suka sedih kalau ngebayangin anak2 bentar lagi dewasa, pasti deh moment2 kaya gini bakalan g ada, jadi kadang serempong2nya aku berusaha sabar paling ya gitu volume suara suka naik hahaha... eeeh ceritanya panjang banget maaf ya mak,
    Sukses untuk GA nya

    ReplyDelete
    Replies
    1. hihihi.. jadi ikut cerita juga kan... ngegemesin soalnya, ya :D
      iya, adaaaa aja alesannya buat lama-lamain acara mandi.. tapi ya itu, dinikmati aja, besok-besok gak akan terulang lagi..
      *iih jadi pengen meluk mereka lagi dan lagii :D

      btw makasih ya Mak.. udah mampir dan ikut sharing :)

      Delete
  4. xixi.. anak saya baru saja , pagi hari sudah "heboh.." gimana kalau dua yah? :D Semangat mom.. semoga sukses GA nya..

    Salam kenal ^^

    ReplyDelete
    Replies
    1. dijamin akan tambah heboh, Mbak :D
      makasiihh... salam kenal kembali, Mbak Inova :)

      Delete
  5. Saya juga sampai sekarang masih merasakan 'huru-hara' di pagi hari seperti ini :D Setuju sekali mbak... anak-anak adalah tanggungjawab kita tapi tetap ya sesekali kita butuh berlibur menenangkan pikiran sebenntarrrrrrr saja :D
    Good Luck mbak.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Wah berarti putra/putri mbak Haya udah besar-besar nih, ya :)
      iya, Mbak, perlu banget menenangkan pikiran, cari "me time" yang asyik.. soalnya kalau tegang terus ntar cepet keriput :D

      terima kasih, Mbak Haya.. good luck too :)

      Delete
  6. Hari yang hectic ya maak, tapi pasti ngangeniin

    ReplyDelete
    Replies
    1. iyyyaaaa... hectic banget, Mak.. dan kalau udah selesai baru bisa senyum dan "merasa dicintai". halah halah.... :D

      Delete
  7. Hihihiiii... toss dulu yuk mba... sama ya ternyata dimana-mana klo jam padat gitu :) Saya hampir selalu terlambat ngantor ya krn adaaaa aja 'keasyikan' anak2 bersama saya.

    ReplyDelete
    Replies
    1. tosss.., Mbak.. :D
      wah, apalagi kalau ibu-ibu kantoran seperti mbak Uniek ini ya.. kalau tanpa ART, wih.. kebayang deh gimana rempongnya :)

      Delete
  8. ternyata, emak-emak dimana-mana hampir sama semua kisahnya ya. anakku empat, dan sudah ada yang besar. tetap saja poagi-pagi riwweuh :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. hihihi... ya iyalah, Mbak.. hampir sama soalnya anak-anak ya gitu, pengen tau ini itu, pengen coba ini itu, aktif, de el el :D
      gak pagi gak siang sore.. adaaaa aja yang "diributin" :D

      Delete
  9. bisa kebayang mak... hebohnya emak2 di pagi hari :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Kalau emak-emak pasti tahu ya rasanya seperti apa :D

      Delete

Terima kasih sudah berkunjung :)
Saya akan senang jika teman-teman meninggalkan komentar yang baik dan sopan.
Mohon maaf komentar dengan link hidup akan saya hapus ^^.