[PARENTING] Penguatan Keluarga dalam Pendidikan di Abad Digital


Minggu, 14 September 2014 kemarin saya berkesempatan ikut dalam sebuah seminar parenting terbatas yang diadakan oleh yayasan pendidikan Islam tempat anak saya Faiq menimba ilmu, yaitu Yayasan Nurul Islam. Yayasan ini mempunyai lembaga pendidikan berupa Sekolah Islam Terpadu mulai dari Play Group hingga SMP. Sekolah Islam Terpadu (SIT) NURUL ISLAM ini terletak di Krembung, Sidoarjo.

penguatan keluarga dalam pendidikan di abad digital

Seminar ini terbatas untuk para orangtua/wali murid SIT Nurul Islam. Kursinya pun terbatas, yaitu hanya 150 orang. Hal ini dikarenakan tempat yang digunakan untuk seminar hanya di 3 kelas yang digabung menjadi satu. Maka saya sangat bersyukur masih kebagian jatah kursi untuk ikut seminar ini. 

Tapi jangan salah, meski dengan tempat yang sederhana dan tidak semua orang tua/wali murid bisa ikut, seminar ini berbobot banget (setidaknya menurut saya). Seminar parenting yang mengambil tema “Sinergi Membangun Konsep dan Jati Diri Anak Sejak Dini” ini mendatangkan pembicara seorang Guru Besar dari ITS (Institut Teknologi Sepuluh Nopember) Surabaya, bapak Prof. Dr. Daniel Mohammad Rosyid

Selain sebagai Guru Besar, banyak sekali profesi yang diemban oleh bapak Daniel ini. Bapak 9 anak kelahiran Klaten ini diantaranya memegang jabatan sebagai Ketua Dewan Pakar Jawa Timur, Ketua Persatuan Insinyur Indonesia Cabang Surabaya, Ketua Dewan Pendidikan Jawa Timur, dan lain-lain (selengkapnya bisa baca di Wikipedia). 

Berbeda dengan judul tema, bapak Daniel membawa makalah yang berjudul “Penguatan Keluarga dalam Pendidikan di Abad Digital, Sebuah Agenda Deschooling”. Agak mikir juga awalnya, bagaimana relevansi antara tema dan makalah yang ditulis. Tapi, saya mengikuti saja dengan baik, sambil berusaha mencari keterhubungannya. Toh, siapalah saya ini? Saya juga datang ke seminar itu sebagai gelas yang kosong, yang siap diisi oleh ilmu-ilmu yang disampaikan. 

Dan benar saja, makalah singkat dan simbolis (berupa potongan-potongan slide dari power point) dari pak Daniel ternyata sangat bagus dan menarik. Pemaparan materiya pun mudah diterima. Beliau mengawali seminar dengan membahas tentang percakapan antara istri beliau dengan salah satu putranya. Ketika putranya disuruh mengerjakan “PR” yang ada di depan matanya, dia tak menyadari maksud dari ibunya. Putranya mengira disuruh untuk mengerjakan PR dari gurunya di sekolah. Padahal, dia hanya disuruh untuk membuang sampah. “PR” yang dimaksud sang ibu adalah Pekerjaan Rumah yang memang berupa pekerjaan sehari-hari di rumah. 

Apa maksudnya? Selama ini proses belajar lebih banyak terjadi di sekolah. Sehingga istilah “PR” pun adalah dari sekolah.

Baca juga: Pentingnya Korelasi Pendidikan dan Moral.


Sebelum seminar dimulai.

Dari Schooling ke Learning 

Di abad digital seperti sekarang ini, internet sangat mudah diakses oleh siapa saja, termasuk para murid. Materi-materi pelajaran bisa didapatkan secara mandiri. Sehingga seharusnya belajar tidak harus di sekolah. Maka semestinya yang difokuskan pada peserta didik bukan lagi sekolah (schooling) tetapi belajar (learning). 

Karena pada dasarnya semua anak yang dilahirkan sehat adalah jujur, amanah, peduli dan cerdas. Sehingga sekolah yang terlalu lama, mengikat dengan banyaknya aturan, kurikulum yang rumit, dan sebagainya hanya akan menghambat tumbuhkembang semua potensi anak. Padahal mendidik adalah memberi ruang yang longgar bagi tumbuhkembang tersebut. 

Maka fokus ke belajar (bukan sekolah) ini akan membuka akses pendidikan yang melimpah di luar sekolah, terutama di rumah. Di sini lah peran rumah untuk belajar. Seluruh anggota keluarga di rumah seharusnya merupakan perangkat sekolah, yang siap untuk memfasilitasi kebutuhan belajar bersama. Orangtua (ayah dan ibu) harus bersinergi membangun pendidikan yang baik bagi anak-anaknya di rumah. Ayah dapat berperan sebagai kepala sekolah, sedangkan ibu sebagai gurunya. 

Peran yang lebih utama tentu dipegang oleh seorang ibu, karena ibu lah yang paling dekat dengan anak-anak semenjak mereka lahir. Melalui guru yang berkualitas insya Allah akan mencetak anak-anak yang berkualitas pula. Untuk menjadi ibu yang dapat mendidik anak-anaknya dengan baik, seorang ibu harus terlebih dahulu menjadi istri yang shalihah. Karena menjadi istri yang shalihah pasti tahu kewajiban-kewajibannya untuk mendidik anak sebaik-baiknya. 

Pendidikan Masyarakat Industrial 

Kalau kita menengok ke negara-negara “maju” seperti Amerika atau Inggris, kita bisa melihat perkembangan pendidikan mereka yang bagus. Mereka pun merupakan masyarakat yang bekerja dengan mapan. Mereka membangun industri dengan begitu baik. Tetapi bagaimana dengan keluarga mereka? 

Masyakakat industrial seperti Barat itu mengandalkan sistem persekolahan untuk mewujudkan masyarakat industri yang maju. Hingga kemudian kegiatan mereka lebih banyak dihabiskan di sekolah dan di tempat kerja (pabrik). Lalu, di manakah keluarga? Keluarga menjadi korban. Sekolah dan pabrik hanya melemahkan keluarga dengan menjadikan mereka sebagai unit konsumtif belaka. 

Kondisi seperti itu bisa menjadikan kehancuran keluarga bila berlangsung secara terus-menerus. Karena tugas-tugas edukatif dan produktif yang seharusnya dilakukan di rumah, berpindah ke luar rumah. Akibatnya rumah menjadi seperti “terminal” belaka, yang dijadikan tempat pemberhentian untuk istirahat. Kesempatan untuk membangun kasih sayang antar anggota keluarga terutama untuk anak-anak menjadi sangat minim. Mereka hanya berkutat dan memikirkan sekolah-kerja-sekolah-kerja.

Baca juga: Kapan Sebaiknya Mulai Menyekolahkan Anak?

Pentas seni peran berbahasa Inggris oleh siswa-siswi SDIT Nurul Islam.

Keluarga adalah SOLE Terbaik 

Mendidik adalah ekspresi cinta. Ekspresi cinta dalam mendidik yang paling indah adalah yang dilakukan oleh orangtua terhadap anak-anaknya. Maka keluarga adalah sekolah cinta. Dari dalam keluarga bisa dibangun sistem pendidikan yang baik jika orangtua dapat berperan aktif mewujudkannya. Penguatan peran keluarga dilakukan dengan memperkuat kapasitas edukatif dan kapasitas produktif keluarga. 

Anak-anak dapat dilibatkan dalam setiap aktivitas keluarga, dan dari sanalah anak belajar dengan cakupan yang lebih luas. Anak tidak hanya terus-menerus menerima materi dari guru. Namun anak bisa langsung praktek dan ditambah dengan rasa kasih sayang yang dilimpahkan orangtua. Kegiatan mencuci piring, membersihkan kamar, membuang sampah pada tempatnya, ikut memecahkan persoalan dalam keluarga, merupakan proses pembelajaran yang sangat bernilai. Interaksi yang intens dan berkualitas dalam keluarga akan membentuk perilaku positif dan menentukan keberhasilan hidup anak nantinya. 

Dengan adanya pendidikan dalam keluarga, sebaiknya jam sekolah dikurangi. Pengurangan jam sekolah bukan berarti pengurangan jam belajar. Anak akan memperoleh kesempatan belajar di rumah dan masyarakat. Karena selain keluarga, masyarakat seharusnya juga berperan aktif dalam proses pembelajaran. Unit-unit kegiatan masyarakat seperti toko, masjid, gereja, rumah sakit, stasiun, pasar, dan lain-lain dapat menjadi SOLE (Self Organized Learning Environment = lingkungan belajar yang terorganisasi secara mandiri) yang memberi pengalaman belajar yang menyenangkan bagi anak. Anak dapat mem-follow-up materi yang diajarkan di sekolah dalam aktivitas di masyarakat. 

Namun lagi-lagi keluarga lah yang menjadi SOLE terbaik. Unit-unit kegiatan dalam keluarga merupakan materi pendidikan yang sangat bagus bagi tumbuhkembang anak. Karena sekali lagi, keluarga adalah sekolah cinta. Keluarga memberi bukan meminta. Melalui keluarga, manusia belajar arti cinta, kesetiaan, pengorbanan tanpa reserve

Keluarga yang dibentuk melalui pernikahan adalah satuan pendidikan terpenting bagi Indonesia di abad digital. Penguatan pendidikan dalam keluarga harus dibangun, anak harus terus belajar tanpa harus bersekolah dengan waktu yang lama. Kehidupan sehari-hari anak di rumah dan lingkungannya harus menjadi bagian tak terpisahkan dari program belajar di sekolah. 

Dengan konsep seperti di atas, orangtua tak boleh hanya “pasrah bongkokan” pada sekolah. Orangtua tak bisa menyerahkan anak sepenuhnya kepada sekolah. Karena sekolah tak bisa bekerja sendiri dalam mendidik dan membentuk pribadi anak dengan baik tanpa bantuan keluarga dan masyarakat. Justru keluarga lah yang harus berperan lebih besar bagi pendidikan anak. 

Karena, Indonesia membutuhkan sistem pendidikan yang memperkuat keluarga dan masyarakat, bukan melemahkannya. Jangan tergiur oleh “kemajuan” masyarakat Barat, yang di baliknya terjadi kehancuran keluarga, pergaulan bebas, dan semacamnya. Pendidikan yang dilakukan di rumah tidak dimaksudkan untuk mengganti sekolah, namun sebagai pelengkap dan suplemen bagi layanan pendidikan. 

Demikianlah rangkuman hasil seminar yang saya ikuti. Semoga saya tidak salah tangkap dan salah tulis :)


*NB: mohon maaf foto-foto saat seminar sangat kurang informatif (karena si kecil Fahima agak rewel, jadi enggak bebas ambil gambar :) )


16 comments

  1. Wah, menarik sekali materinya ya, Mak. Trims for share.... :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. alhamdulillah, iya Mak, menarik dan bermanfaat menurut saya :)
      terima kasih juga sudah berkunjung :)

      Delete
  2. Bagus, mak..
    Makasih ya sharenya..

    ReplyDelete
    Replies
    1. sama-sama, Mak.. makasih juga sudah berkunjung :)

      Delete
  3. Replies
    1. alhamdulillah... terima kasih telah berkunjung :)

      Delete
  4. keluarga sebagai SOLE terbaik dan lingkungan masyarakat merupakan komponen yang melengkapi sistem pendidikan yang holistik paripurna.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Betul sekali, Mbak Ririe.. ketiganya saling melengkapi :)

      Terima kasih, Mas Kid :)

      Delete
  5. baru tahu tentang SOLE itu apa, huwaaa harus banyak nelan ilmu parenting nih :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hihihi.. sekarang udah tahu, dong, Mbak Sari?
      Bagus, tuh, ayo cari ilmu terus... buat bekal ntar kalau udah nikah dan punya anak :)
      saya juga pengin cari ilmu terus, kok :)

      Delete
  6. Great blog you have got here.. It's hard to find excellent writing like
    yours nowadays. I honestly appreciate individuals like you!
    Take care!!

    ReplyDelete
  7. Setuju sekali mbak Dyah, keluarga adalah pendidikan utaman dan pertama anak dan tidak akan bisa tergantikan oleh fasilitas apapun ya

    ReplyDelete
  8. Datang ke artikel ini karena direkomendasikan temen saya Aprilia Sari.

    Saya membaca artikel ini jadi teringat obrolan kawan-kawan yang mengeluh bahwa semenjak pandemi ini, tugas mereka sebagai orang tua menjadi berat karena mereka harus bertindak sebagai guru di rumah.
    Mereka merasa didelegasikan tugas oleh guru sekolah anak-anak mereka, padahal mereka sudah bayar SPP.
    Saya jadi terenyuh.

    Padahal saya merasa bahwa pandemi ini sebetulnya kesempatan bagus sekali untuk mengembalikan fitrah pendidikan.
    Karena sejatinya, kesempatan anak memperoleh pendidikan itu sebetulnya di rumah, bukan di sekolah, sebab anak itu menghabiskan sebagian besar waktunya ya di rumah.
    Kalau sampai diberi PR oleh sekolah, maka itu maksudnya supaya anak bisa lebih terarah untuk menyerap pengetahuannya di rumah.
    Maka orang tua harusnya memahami itu.

    Saya prihatin mendengar orang tua membayar SPP hanya untuk supaya mereka bisa memindahkan tanggung jawab pendidikan anak mereka kepada guru sekolah.
    Padahal guru hanya bertindak sebagai perancang kurikulum, tapi orang tua tetap punya andil untuk mengeksekusi rancangan tersebut.
    Orang tua seharusnya tidak boleh lepas tangan.

    Seminarnya Pak Daniel ini bagus banget untuk mengingatkan para orang tua supaya tetap bertanggung jawab atas pendidikan anak mereka.

    ReplyDelete

Terima kasih sudah berkunjung :)
Saya akan senang jika teman-teman meninggalkan komentar yang baik dan sopan.
Mohon maaf komentar dengan link hidup akan saya hapus ^^.