Beberapa Kendala untuk Hidup Bergaya Minimalis


Bicara mengenai hidup bergaya minimalis, secara otomatis pikiran saya langsung terhubung pada seni beres-beres dan metode merapikan ala Jepang. Metode beberes yang pernah saya baca adalah ala Marie Kondo atau biasa dikenal dengan metode KonMari (yang sudah sangat populer itu).


Dalam buku yang belum sepenuhnya saya baca (sebagian saya baca lompat-lompat karena rempong sama kerjaan RT 🙈) itu, dijelaskan secara detail bagaimana beres-beres yang benar. Marie sebagai konsultan kerapian memperkenalkan metode merapikan yang diklaim ampuh tiada duanya yaitu metode KonMari.

Metode KonMari mengajarkan untuk berbenah sekaligus, bukan sedikit demi sedikit. Dengan meluangkan waktu khusus untuk beres-beres sekaligus, kita tidak akan mengulang terus-menerus merapikan rumah/kantor kita (asalkan mengikuti cara-caranya dengan benar). Sehingga kita tidak akan sering kecapekan gara-gara berbenah.

Secara garis besar, menurut Marie berbenah dapat dibagi ke dalam dua aktivitas, yaitu memutuskan untuk membuang suatu barang atau tidak, kemudian memutuskan hendak menyimpannya di mana (hal.11). Dalam buku itu Marie juga memberikan contoh urutan merapikan barang-barang di rumah kita. Seperti misalnya merapikan baju diawali dengan atasan, bawahan, pakaian yang mesti digantung, dan seterusnya. Demikian juga saat merapikan buku, menyortir kertas, dan lain-lain. Semuanya ada urut-urutannya. Dengan mengikuti urut-urutan itu, kegiatan berbenah akan lebih efektif dan efisien.

Menurut Marie, jika kita mampu berbenah dengan baik, maka dampaknya hidup kita juga akan lebih teratur. Gaya hidup dan perspektif kita akan ikut berubah. Gaya hidup minimalis akan tercipta dan membuat pikiran kita lebih fresh. Kita hanya akan berada di ruangan atau rumah bersama dengan barang-barang yang memberikan kegembiraan. Tak ada lagi barang-barang tak bermanfaat yang membuat sumpek.

Baca juga: Tempat Kerja Para Pekerja Digital.


Beberapa Kendala untuk Hidup Bergaya Minimalis

Lalu, bagaimana dengan saya sendiri? Sudah bisakah hidup bergaya minimalis?
Jujur, saya masih kesulitan untuk menerapkan "ajaran-ajaran" KonMari tersebut. Rumah saya masih penuh dengan barang-barang yang kurang bermanfaat, tersimpan tak teratur, dan sebagainya. Jangan menyuruh saya untuk berbagi foto salah satu kamar di rumah saya, ya. Asal tahu saja, berantakan sekali. Hehehe. Nah, jika boleh saya memberikan alasan, berikut ini beberapa kendala untuk hidup bergaya minimalis di rumah saya:

👉 Keberadaan anak-anak yang masih kecil-kecil menjadi alasan utama.
Mainan-mainan empat anak saya tersebar hampir di seluruh penjuru rumah. Jika dirapikan, mereka biasanya mengambil kembali dan memainkannya di tempat sesuka mereka. Si sulung dan si nomor dua (SD dan TK) bahkan suka "menyembunyikan" mainan mereka di tempat "rahasia". Tak ada yang boleh mengganggu. Alhasil saya kesulitan merapikan mainan-mainan tersebut. Begitu juga dengan pakaian, mereka suka ganti-ganti baju kadang tak teratur, lalu membuat lemari berantakan. Dan lain-lain. Hemm.. Barang-barang pun menumpuk dan berantakan 😌.


Sumber gambar: pixabay.com.

👉 Kesulitan mencari waktu yang pas untuk merapikan sekaligus.
Menurut metode KonMari, merapikan hendaknya sekaligus, enggak setengah-setengah atau sedikit demi sedikit. Padahal, itu butuh waktu yang enggak sebentar dan suasana yang tenang. Nah, kapan saya mau merapikan? Siang hari anak-anak melek bergantian sehingga tak mungkin beres-beres tanpa gangguan. Padahal sebaiknya berbenah itu di waktu yang sunyi dan rileks. Sedangkan di malam hari, seringnya saya gunakan untuk menulis, atau karena kecapekan akibat rutinitas di siang hari dan alhasil malamnya lebih banyak tidur. Hehehe. Tak sempat berbenah.

Baca juga: Tips Rumah Minimalis.

👉 Belum sepenuhnya rela membuang sebagian barang yang tak bermanfaat.
Menurut Marie, barang-barang kita juga akan bahagia jika bermanfaat, bukan hanya disimpan dan teronggok tak berguna. Tetapi saya termasuk orang yang suka menyimpan kenangan barang-barang yang bernilai historis atau dengan alasan apapun. Huwaa.. 

Misalnya jaket almamater saat sekolah dan kuliah, tumpukan fotokopian saat kuliah, hadiah-hadiah kecil dari teman atau dari mengikuti beberapa event, dan lain-lain masih tersimpan rapi di lemari. Padahal, enggak semua barang itu sebenarnya masih bermanfaat. Kadang susah untuk melepaskan karena berpikir, ah, siapa tahu suatu saat ini masih bermanfaaat? Ah, enggak apa-apa, kan, disimpan di sini saja? Toh, masih cukup tempatnya. Dan sebagainya.

👉 Serumah dengan orangtua yang tentu saja masih berpikir lebih konvensional.
Ya, kami serumah dengan kedua orangtua saya. Kadang jika suami sedang beres-beres barang dan membuang sebagian barang itu, ibu dan bapak berkomentar eman barang kok dibuang-buang. Jika ada mainan anak-anak yang sudah jelek, mereka bilang jangan dibuang dulu, itu masih bisa untuk mainan. Dan lain-lain. Kadang saya sungkan pada orangtua jika membuang barang-barang atau memberikannya ke orang lain, takut dikira sombong atau sok kaya. Hehe.

Yah, begitulah. Saya masih susah untuk menjalani hidup bergaya minimalis. Pengen sekali sebenarnya, hidup di rumah bersama barang-barang yang benar-benar bermanfaat saja. Mungkin, jika anak-anak sudah besar? Semoga kami bisa, ya. Aamiin 😊.

*****

Referensi:
Marie Kondo, "The Life-Changing Magic of Tidying Up", Agustus 2016, Bentang Pustaka.

1 comment

  1. Sama mbk, kalau ada yg share soal mempraktekkan metode ini, bawaannya selalu pengen ngikut. Tapi apalah daya, banyak kendala. Mungkin blm saatnya praktek metode ini skrg. Lain kali mungkin ya mbk. Btw makasih sharenya yak, jd punya gambaran dan jd ogn beli bukunya jg.

    ReplyDelete

Terima kasih sudah berkunjung :)
Saya akan senang jika teman-teman meninggalkan komentar yang baik dan sopan.
Mohon maaf komentar dengan link hidup akan saya hapus ^^.