Pasar Klewer dalam Kenangan(ku)



Pasar Klewer tampak depan (credit)


Kurang lebih 11 tahun yang lalu, saya sangat akrab dengan tempat ini. Sebuah tempat yang terletak di antara Alun-alun Kota Solo, Masjid Agung, dan Keraton Surakarta. Ya, itulah Pasar Klewer. Pasar yang merupakan salah satu pasar tekstil terbesar di Asia Tenggara.

Ketika berita tentang kebakaran Pasar Klewer pada tanggal 27 Desember 2014 kemarin sampai ke telinga saya, berbagai ingatan tentangnya berseliweran di benak saya. Ada rasa sedih dan rindu yang bercampur aduk. Ada keinginan untuk sekadar menjenguk pasar itu. Tapi apa daya, kini saya tinggal nun jauh di Sidoarjo, Jawa Timur. Ya, saya rindu, karena saya pernah sangat akrab dengannya. Karena selama kurang lebih setahun, setiap pagi hingga sore saya berada di tempat itu. 

Kala itu, saya dipercaya oleh seorang pemilik perusahaan batik (yang merupakan seorang Arab) untuk menjaga sebuah kios bersama seorang teman. Sebuah kios berukuran 2x2 meter itu kami kelola berdua. Barang dagangan kami berupa baju anak hingga dewasa, baju muslim, sprei, dan lain-lain yang tentu saja mayoritasnya adalah produk batik. 

Kios kami yang mungil itu terletak di tengah-tengah pasar, berjejer dengan ratusan kios serupa yang berderet-deret rapi membentuk gang-gang kecil. Kios di depan kami adalah kios yang menyediakan aneka rupa perlengkapan pengantin, pemiliknya orang Jawa. Sama seperti kios di depan kami tersebut, di sebelah kanan kami juga merupakan kios perlengkapan pengantin. Lalu di sebelah kiri kami, adalah kios yang merupakan agen berbagai pakaian anak hingga dewasa, orang Tionghoa pemiliknya. Orang Tionghoa pula pemilik kios yang ada di seberang kiri kami, yang menjual rupa-rupa benang. Di sebelahnya lagi, ada kios busana muslim, pemiliknya Uda dan Uni dari Padang. 

Begitulah, saya hanya ingin menceritakan bahwa pedagang Pasar Klewer bukan saja pribumi, orang Jawa, tetapi banyak juga orang Arab, Tionghoa, India, Padang, Batak, dan lain-lain. Seperti juga bukan saja masyarakat Solo yang menggantungkan roda perekonomiannya di sana, tetapi banyak pedagang yang berasal dari Pekalongan, Semarang, Bandung, Tasik Jawa Barat, juga daerah-daerah lain dari Jawa dan luar Pulau Jawa. Bukan saja kain batik yang “kemlewer” (seperti namanya) yang ada di pasar itu, tetapi juga kaos, sprei, perlengkapan pengantin, pakaian ihram, jilbab, dan masih banyak lagi produk yang dijual di sana. 

Saya merasakan interaksi yang hangat selama berada di antara para pedagang itu. Walau ada “kompetisi” dalam berdagang, namun rasa persaudaraan sesama pedagang itu juga ada. Bagaimana tidak, setiap hari mereka bertemu, mengobrol segala macam persoalan, jika ramai mereka tersenyum bersama, jika sepi pengunjung mereka saling membagi resah, dan sebagainya. Tak luput pula canda tawa di antara kami, yang muda dengan yang muda, yang tua bersama seusianya, atau kadang kami berbaur menjadi satu. Ah, indahnya. 

Ada juga kisah cinta. Tentu saja. Ada beberapa pedagang (biasanya pegawai, karena biasanya yang menjadi pegawai adalah anak muda) yang menjalin hubungan dan akhirnya menikah dengan sesama pedagang. Banyak pula anak muda yang memanfaatkan radio pasar sebagai ajang berkirim sapa, atau sekadar me-request lagu. Dan dari radio pasar itulah pergaulan sesama pedagang muda kerapkali lebih akrab terjalin. Ah, tentu saya masih mengingatnya :) 



Pasar Klewer yang terbakar (credit)


Tetapi kini, entah seperti apa keadaannya. Setelah api meluluhkantakkan tempat berjuta cerita itu. Setelah hampir seluruh kios habis dimakan si jago merah. Entah apa yang akan saya temukan jika saya mengunjungi tempat itu beberapa waktu lagi. 

Ah, kapan saya akan ke sana? Kapan saya akan pulang kampung? Entahlah… Tapi, semoga saja segera ada pasar darurat pengganti Pasar Klewer. Dan selanjutnya, saya berharap akan tetap ada Pasar Klewer, yang direnovasi, yang diperbaharui. Karena bagaimanapun, Pasar Klewer sudah menjadi salah satu ikon kota Solo. Karena bagaimanapun, Pasar Klewer punya “cita rasa”-nya tersendiri.


#hanya sepenggal catatan tentang Pasar Klewer


10 comments

  1. Setujuuu mak. Solo adalah Klewer, dan Klewer adalah Solo

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hehehhe... tuh kaaana... mak Nurul aja setuju....
      yup, emang bener itu, Mak :)

      Delete
  2. Kalau punya kenangan di suatu tempat pasti sedih sekali jika di tempat itu terjadi kenapa2 :((

    Semoga semuanya baik2 aja ya Mak

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya, Mbak... sediiihh banget rasanya waktu denger berita kebakaran itu..
      ya, semoga para pedagang lekas bangkit :)

      Delete
  3. Saya pernah beberapa kali belanja disana mak... tapi seringnya klo mau keluar kebingungan... hihi..

    ReplyDelete
    Replies
    1. hihihi.. memang ada sebagian orang yang sama seperti Mak Iro gitu, bingung kalau mau keluar.. yah, memang pasarnya banyak gangnya ya Mak, jadi kalau belum hafal ya bingung.. :)

      Delete
  4. wah ternyata mbak Diah pengalaman berdagang juga ya...:-) aku belom pernah ke pasar Klewer, mbak...belum sempat...
    btw, turut berduka atas musibah yang menimpa pasar klewer. Semoga bisa kembali pulih dan tidak terjadi lagi. Aamiin...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hehe.. ya begitulah, Mbak Nunung..
      wah belum sempat udah keburu kebakar ya.. :)
      aamiin... iya mbak, semoga segera ada kabar baik :)

      Delete
  5. Shock dengar beritanya. Kejadiannya kan Sabtu, padahal Jumat saya baru dari sana. Waktu itu macet, merayap lama banget karena sekatenan. Mobil PMK pasti susah menembusnya. :((

    ReplyDelete
    Replies
    1. Duh, mak Lusi habis dari sana ternyata ya.. iya itu barengan sama Sekatenan.. rame banget pastinya :(

      Delete

Terima kasih sudah berkunjung :)
Saya akan senang jika teman-teman meninggalkan komentar yang baik dan sopan.
Mohon maaf komentar dengan link hidup akan saya hapus ^^.