Mengejawantahkan Pesan dari Guru Inspiratif untuk Anak



Belajar dari pengamalan. Bagi saya, kalimat simpel itu mempunyai makna yang dalam. Karena saya pikir, pengalaman lebih mengena dan lebih membekas. Bukan, bukan membandingkannya dengan belajar dari buku-buku atau sumber-sumber lain. Tapi pengalaman, adalah guru terbaik dan tak tergantikan dalam hidup.

Sejak awal akan menyekolahkan anak, saya telah bertekad untuk tidak akan membebaninya dengan prestasi akademik yang bagus di sekolah. Maka hari demi hari selanjutnya ketika anak saya benar-benar sekolah (sekarang kelas 1 SD), saya tak pernah kecewa jika nilai-nilai akademiknya tidak sempurna. Saya juga tak jumawa jika pada kenyataannya nilai-nilai yang tertera dalam raportnya di atas nilai rata-rata semua. Itu bukan hal yang mesti dibanggakan.

Ini tentu saja terkait dengan pengalaman-pengalaman saya di masa lampau. Dalam kasus saya, saya mempunyai jejak sejarah yang baik dalam persekolahan. Prestasi akademik saya di sekolah bagus, nilai-nilai raport sejak SD hingga SMEA dan bahkan hingga nilai IPK saat kuliah, hampir semuanya tak ada yang buruk. Tapi... setelah lepas dari lembaga bernama sekolah dan atau universitas, apa yang bisa saya kerjakan? Apa yang saya dapatkan? Pada akhirnya, saya tak mampu bersaing dengan pejuang hidup atau pencari kerja yang lain. Ya, saya tidak mendapatkan pekerjaan yang mapan atau sesuai harapan. Apa sebab? Karena saya merasa tak punya soft skill yang bisa diandalkan. Saya hanya belajar materi-materi sekolah, tanpa menguasai ilmu-ilmu kecakapan hidup.


Credit from pixabay.com


Saya memang selalu teringat dengan petuah salah satu guru favorit saya saat SMP. Bapak Sutopo yang guru Seni Rupa dan Seni Ukir itu pernah berkata:
Kalau Anda nanti terus menuntut ilmu sampai ke jenjang yang lebih tinggi dan lebih tinggi lagi, tujuan Anda hendaklah jangan karena materi. Karena sejatinya menuntut ilmu setinggi-tingginya itu bukan untuk mencari materi, tapi untuk terus mendewasakan Anda.

Kalimat-kalimatnya tersebut selalu saya bawa dalam ingatan dan langkah-langkah saya, sekian detik setelah terucap dari pribadinya yang pendiam dan nyentrik, hingga bertahun selanjutnya. Hingga saat ini. Tapi, kadang manusia memang lebih butuh materi atau mungkin semacam pengakuan di masyarakat. "Saya ini sudah sekolah, lho. Saya bukan orang bodoh, maka seharusnya saya bisa mendapat kedudukan yang baik di dalam pekerjaan dan masyarakat". Kadang, pikiran seperti itu terlintas di benak.

Namun, sejujurnya saya lelah berdebat dengan diri sendiri tentang hal itu. Hingga persepsi sesungguhnya dari kalimat pak Topo itu perlahan benar-benar teresapi dan tertanam di hati. Sekolah bukan untuk mencari materi, tapi untuk mendewasakan kita.


Saya tahu, melalui pengalaman dan melihat di sekitar, banyak pula orang sukses dikarenakan kepandaiannya. Orang yang mempunyai prestasi bagus biasanya lebih mudah mendapatkan pekerjaan yang diinginkan. Bagaimana tidak? Coba lihat alurnya. Orang yang pandai bisa dengan mudah masuk ke sekolah-sekolah hingga universitas favorit. Kita tentu tahu, lembaga-lembaga pendidikan yang bagus biasanya lebih banyak membuka peluang ke arah dunia kerja yang bagus pula. Banyak channel yang bisa menghubungkan siswa-siswinya ke dunia kerja yang lebih baik.

Tapi, bagi saya akhlak yang baik dan soft skill yang dikuasai lebih penting dari prestasi akademik. Bagaimana karakter-karakter yang baik bisa membuat seseorang bekerja dengan baik dan bertahan dalam pertarungan kehidupan. Pandai atau pintar tapi tak tahu cara berkomunikasi yang baik, menjaga hubungan dengan relasi, bertahan ketika terpuruk, dan lain-lain, ya, percuma.


Credit from pixabay.com.


Maka kembali lagi, semacam mengejawantahkan pesan dari guru inspiratif yang pernah saya jumpai, saya akan selalu teguh menjaga pesan itu. Sekolah enggak harus pintar secara akademik dengan tujuan untuk mengejar materi, tapi lebih pada terus belajar menjadi pribadi yang lebih baik dan dewasa. Melalui proses pembelajaran dan pergaulan/interaksi dengan lingkungan sekolah, anak-anak tak akan pernah saya tuntut untuk berprestasi yang baik secara akademis. Tapi menguasai ilmu-ilmu kecakapan hidup dan bagaimana berakhlak mulia lebih saya prioritaskan untuk mereka. Insya Allah.

Lain halnya jika saya mendapatinya masih sering susah berbagi, masih sering bertengkar (tidak mengalah) dengan adiknya, masih belum nurut jika dinasehati, saya akan sedih. Dan, justru ini pe-er terbesar saya dalam mendidiknya. Saya tak menginginkan dia sekadar pintar secara akademik, tapi saya sangat ingin dia berakhlak mulia dan kelak punya soft skill yang baik. Mengenai hard skill, jika dia menguasainya dengan baik, itu hanyalah merupakan bonus.

Bagaimana dengan teman-teman? Apa pandangan teman-teman tentang sekolah, menuntut ilmu, dan prestasi akademik? Mari sharing :)



4 comments

  1. soft skil tentunya sangat penting utk anak ya mba... bukan melulu materi pendidikan di sekolah saja yg ditekankan, karena dunia terus berkembang

    ReplyDelete
  2. Yap, benerrr banget kata2 guru mba Diah
    --bukanbocahbiasa(dot)com--

    ReplyDelete
  3. Kalimat2 guru itu buat saya bagaikan mantra :)

    ReplyDelete
  4. Ini aku banget. Hahaha. Jadilah sekarang ini fokus pendidikan anak untuk practical life skill, ga hanya cepat membaca atau menulis.

    ReplyDelete

Terima kasih sudah berkunjung :)
Saya akan senang jika teman-teman meninggalkan komentar yang baik dan sopan.
Mohon maaf komentar dengan link hidup akan saya hapus ^^.