Perlu Penanaman Karakter Sejak Dini untuk Ciptakan Gaya Hidup Zero Waste



Setiap orang yang akan menikah, biasanya (dan hampir pasti) akan menyelidiki kebiasaan-kebiasaan calon pasangan hidupnya. Apakah si dia merokok, apakah dia suka kulineran, bagaimana tentang kedisiplinannya, dan lain-lain. Tapi, seringkali "survey" itu tidak bisa mencakup semua sisi hidup sang calon pasangan. Karena pada kenyataannya, setelah menikah kita baru tahu, "yah, ternyata dia kok gitu." -_-

Pengalaman pribadi? Ya iyalah... hihihi.
Bukannya hendak memunculkan aib pasangan, tapi ini sekadar contoh saja. Dan seperti yang sering saya lihat dan baca, banyak juga, kok, yang mengalami hal seperti saya *duh, ini kok pake mbulet segala 😆 

Jadi gini, ternyata suami saya itu dalam beberapa hal berseberangan lumayan jauh dengan pandangan dan sikap saya tentang lingkungan, khususnya dalam hal ini tentang sampah. Kami seringkali berbeda dalam memperlakukan sampah. Ya, dulu waktu ta'aruf (perkenalan sebelum menikah) saya enggak kepikiran, dong, menanyakan soal sampah ini ke dia. Saya bukan seorang pegiat lingkungan atau setiap harinya memikirkan tentang program zero waste, sih. Jadi bahasan tentang lingkungan terlewat dalam masa ta'aruf kami. Hehehe.

Baca juga: Nostalgia Janji

Saya cuma seseorang yang sudah terbiasa dari kecil membuang sampah pada tempatnya, ngirit dalam menggunakan suatu barang, enggak mudah membuang barang-barang bekas, atau terkadang membuat suatu barang baru dari barang-barang bekas tersebut. Itu semua enggak lepas dari pengaruh bapak saya, sih. 

Ya, bapak saya termasuk orang yang sangat eman terhadap barang-barang bekas. Botol-botol plastik bekas air mineral, plastik refill minyak goreng atau sabun cuci, sisa-sisa kayu, barang-barang yang telah rusak,  seringkali enggak langsung masuk ke tempat sampah, melainkan disimpannya. Barang-barang itu di saat yang lain akan digunakannya untuk keperluan lain, atau mungkin disulapnya menjadi suatu barang yang baru. Seperti plastik refill minyak goreng untuk wadah/pot pembibitan tanaman, kayu-kayu bekas untuk membuat tempat jemuran dan tempat cucian alat-alat masak, dan lain-lain. Otomatis, kebiasaan bapak saya ini menular juga kepada saya. Sehingga saya juga menjadi orang yang termasuk irit dalam memperlakukan barang-barang.



Salah satu kreasi bapak dalam menggunakan sampah :).

Hal ini lumayan berbeda dengan suami saya. Dia cenderung bersikap seperti ini misalnya, 
"Buat apa, sih, repot-repot bikin sesuatu dari dari barang-barang bekas. Beli yang baru, kan, lebih praktis."
"Buat apa nyimpen barang-barang bekas/sampah. Menuh-menuhin rumah aja. Bikin jelek pemandangan."
"Pasta gigi tinggal seuprit aja dieman-eman sampai wadahnya dipotong jadi dua gitu. Ganti yang baru kenapa? Kayak gak ada duit."
-_-

Kadang terjadi semacam war gitu di rumah. Enggak jarang saya menjerit histeris *lebay emang 😂* seperti ini,
"Aduuuh!! Air bilasan terakhir seember di sini tadi dibuang begitu aja?! Padahal, kan, bisa buat bersihin lantai ini dulu....!"
Yahhh, gimana caranya ngumpulin air seember yang sudah masuk selokan? -_-


Gaya Hidup Zero Waste
Padahal, sikap irit saya itu, kan, termasuk dalam usaha menerapkan gaya hidup zero waste juga. Bukan irit bin pelit semata 😔. Meski awalnya enggak tahu juga, sih, kalau itu namanya zero waste. Hihihi. Teman-teman pasti sudah tahu, kan, apa itu zero waste? Kalau sekarang sudah terkenal banget, kok, istilah ini. Zero waste atau nol limbah alias nol sampah ini bisa diartikan sebuah siklus yang memaksimalkan penggunaan sebuah sumber daya. Dimulai dari proses produksi hingga akhir penggunaannya diharapkan dapat meminimalisir produksi limbah atau sampah. 

Salah satu konsep yang kita kenal dalam zero waste ini adalah 3R, yaitu Reduce, Re-use, dan Re-cycle. Reduce berarti mengurangi segala sesuatu yang mengakibatkan adanya sampah. Re-use artinya menggunakan kembali sampah yang masih dapat digunakan untuk fungsi yang sama atau fungsi lainnya. Sedangkan re-cycle berarti mengolah kembali (daur ulang) sampah menjadi barang atau produk baru yang bermanfaat.

Meski namanya nol limbah atau nol sampah, tapi tampaknya memang mustahil, ya, mewujudkan nol sampah itu. Tapi setidaknya, kita harus berusaha meminimalisir sampah di sekitar kita. Buat apa? Ya, untuk menjaga lingkungan. Menjaga bumi. Kebayang, kan, kalau bumi kita ini penuh dengan sampah? Jadi kotor dan enggak sehat. So, mari kita minimalisir sampah di sekitar kita. Caranya, ya, dengan reduce, re-use, dan re-cycle sampah-sampah tersebut.      


Penanaman Karakter Sejak Dini untuk Konsep Zero Waste
Kembali lagi pada pola pikir dan sikap suami saya terhadap sampah. Mungkin, karakter seperti itu terbentuk karena kebiasaan dari kecil, ya. Sama seperti karakter saya yang irit, juga telah terbentuk dari kecil. Pasti ada pengaruh dari keluarga, sekolah, dan lingkungan sekitarnya yang membentuk karakter-karakter seseorang. Mungkin, memang sejak kecil suami saya enggak terbiasa menyikapi lingkungan atau sampah dengan baik. Di keluarganya enggak dibiasakan, di sekolahnya juga enggak diajari, plus lingkungan yang setali tiga uang. Mungkin, ya. Karena kalau saya lihat adik-adik ipar, sikap mereka terhadap lingkungan juga enggak jauh beda dengan suami.

Beda pola pikir seperti ini membuat saya sering gemessss awalnya. Meskipun saya pribadi belum bisa menerapkan konsep zero waste dengan baik, baru sedikit yang bisa saya lakukan, tapi saya inginnya bisa bersama-sama belajar menyayangi lingkungan. Tapi saya kemudian tersadar, enggak ada manusia yang sempurna, kan? Ya, mungkin itu salah satu kelemahan suami di mata saya. Saya pun pasti punya banyak kekurangan di sisi yang berbeda. Dan, sebagai pasangan suami-istri kami harus bisa saling melengkapi. 

Sedikit demi sedikit saya kasih masukan tentang pentingnya menjaga lingkungan dan manfaatnya. Enggak mudah, lho, mengubah karakter seseorang. Karena karakter itu terbentuk dari kebiasaan-kebiasaan dalam waktu yang lama, kan? Saya pun enggak berhenti berperilaku irit (lhah, emang sudah sifat dari sono-nya 😃), maksudnya memberi contoh, biar lama-kelamaan suami juga ikutan irit. Hehe.


Irit, dong :D
Hihi, pelembab yang mau habis itu saya potong jadi dua biar isinya bisa habis bersih. Habis pakai, tutup lagi, ya :D


Perbedaan pola pikir antara saya dan suami juga sedikit banyak pastinya akan berpengaruh pada anak-anak kami. Seperti yang kita ketahui, anak-anak adalah peniru ulung. Mereka pasti akan meniru kebiasaan-kebiasaan dari orang-orang terdekatnya terutama ayah dan ibunya. Bahkan tak hanya kebiasaan, kadang kita berbuat sekaliii saja, anak akan menirunya hingga berulang-ulang. 

Saya, tentu saja ingin anak-anak kami juga seperti saya: bisa irit dan memperlakukan lingkungan dan sampah dengan baik. Karena selain bermanfaat untuk lingkungan, gaya hidup zero waste juga untuk diri sendiri, kan? Dengan irit maka kita akan terbiasa hidup hemat. Artinya kita akan hemat pula pengeluarannya. Hehehe.

Nah, hal yang bisa saya lakukan untuk anak-anak saat ini adalah MEMBERIKAN CONTOH DAN MENGAJAK mereka bagaimana caranya memperlakukan sampah dengan baik, bagaimana caranya menyayangi lingkungan. Meskipun baru sedikit yang bisa saya lakuka, tapi saya berharap cikal-bakal karakter cinta lingkungan itu akan terbentuk. Diantara yang saya lakukan adalah seperti berikut ini:
  • Membuang sampah pada tempatnya, dan memisahkan sesuai kategorinya. Seperti botol-botol plastik kami sendirikan, untuk kemudian disetorkan ke tempat penampungan plastik-plastik bekas. Kebetulan di dekat rumah kami ada tempat semacam itu.
  • Menggunakan barang-barang yang minim limbah. Seperti penggunaan cloth diaper (clodi) untuk si kecil. Kakak-kakaknya pasti tanya, kenapa pakai clodi, gak pakai diapers atau pospak (popok sekali pakai)? (iya, saya pakainya masih mix antara clodi dan diapers, tapi lebih sering pakai clodi). Dari situ saya akan menjelaskan bahwa menggunakan clodi itu lebih ramah lingkungan, enggak menyumbang sampah yang banyak seperti kalau pakai pospak, dan seterusnya.
  • Mengajak mereka memanfaatkan barang-barag bekas untuk membuat mainan atau barang-barang lain, seperti kardus bekas susu untuk membuat mobil-mobilan, botol air mineral untuk wadah sikat gigi mereka, dan lain-lain.
  • Menghargai karya orang lain atas barang-barang yang diciptakannya dari barang bekas. Seperti menghargai karya-karya kakeknya meskipun mungkin hasilnya kurang menarik. Saya katakan pada mereka, ya, seperti itulah salah satu cara menjaga lingkungan. Kalau bisa, kita juga ikut berkarya dengan barang-barang bekas/sampah, agar sampah menjadi bermanfaat.

Penggunaan cloth diaper pada si kecil juga turut mengurangi sampah :).

Gaya hidup zero waste memang tidak mudah diterapkan jika tidak ada karakter cinta lingkungan di dalam diri seseorang. Maka, penting sekali membentuk karakter itu sejak dini, sejak masih kanak-kanak. Diharapkan, jika kelak masyarakat banyak yang sadar lingkungan, lingkungan pun akan lebih terjaga. Karena konsep zero waste juga sulit terlaksana jika orang-orang di sekitar kita tidak turut mendukung. So, yuk, kita tanamkan karakter cinta lingkungan pada anak-anak kita 😊😊.


***

Tulisan ini untuk menanggapi artikel "Zero Waste, Gaya Hidup Masa Kini yang Peduli Lingkungan" di web Kumpulan Emak Blogger, yang ditulis oleh Mak Haeriah Syamsudin.




25 comments

  1. Kalau setelah menikah kita emang bener2 irit ya mba. Bukan karena pelit tapi sudah keharusan. Apalgi yg namanya emak2 ya 😂

    ReplyDelete
  2. Seriuuss, mba Deka.
    Ini membutuhkan konsistensi yang tinggi.

    Aku mulai memisahkan sampah, iya.
    Mengajarkan anak-anak untuk menabung di Bank Sampah, iya.
    Tapi kalau sedang kumat malasnya, karton bekas tempat makanan pun masuk ke tong sampah organik.

    Heuu~~
    Padahal kalo masuk ke Bank Sampah kan lumayaaaan...bisa nambahin saldo di rekening butab Bank Sampah.


    Semangaatt berubah.
    In syaa Allah...Bisa.

    ReplyDelete
  3. Jadi ingat gerakan eman sigone di yogya yaitu gerakan habiskan makananmu, emakku hobi ngumpulin sampah tapi nggak pernah sempat merapikannya atau mengolahnya. Memang hanya orang dengan konsistensi tinggi yang bisa begini menolah sampah

    ReplyDelete
  4. Pemerintah Jawa Timur sudah memulai program zero waste seperti tulisan ini, disebut dengan Adiwiyata.
    program peduli lingkungan.
    tanpa sampah, tanpa pengawet, tanpa plastik
    program ini diterapkan di seluruh sekolah baik TK sampai SMA di Jawa Timur.

    Wah mbak DEKA ini sudah memulai Adiwiyata di keluarga sendiri!

    WOW!

    ReplyDelete
  5. sy belum bisa zero waste meski udah berusaha
    paling memanfaatkan kantong plastik dari swalayan untuk kantong sampah di rumah
    namun setidaknya kepedulian sy untuk sampah ya dengan membuang pada tempatnya

    ReplyDelete
  6. aku masih di tahap buang sampah pada tempatnya, belum ke milah-milah sampah mbak. semua memang musti dimulai dari diri sendiri dan mengajak orang-orang terdekat ya.

    ReplyDelete
  7. Wahh kamuh mantap banget mba. Kalau yang lain selama ini belum aku lakukan, tapi yg pelembab dipotong dan di ambil pake tangan itu udah aku lakuin. Soalnya sayang jadi harus bener2 bersih hehe

    ReplyDelete
  8. Entah kapan aku akan bisa menerapkan metode zero waste itu, jika dari keluarga sendiri, pendekatan mereka terhadap sampah adalah "kalau ada sampah, ya langsung buang". Tidak mencari celah untuk memanfaatkan sampah. Tuhan. Sempat ingin sekali otak ini supaya bisa berpikir kreatif. Semoga bisa.

    ReplyDelete
  9. aku juga masih bertahap untuk meminimalisir sampah
    semisal mengurangi kantong bungkus makanan karena kemana-mana bawa tupperware

    tapi kalau yang menggunting botol/wadah untuk dihabiskan bersih isinya, aku belum terpikir.
    Inshaa Allah akan kuterapkan

    makasih kak Deka buat ilmu tipis-tipisnyaaaa hehe

    ReplyDelete
  10. Mantab mbak, kreatif. Apalagi potnya itu

    ReplyDelete
  11. Salut bisa segitu konsistennya Mb. Aku sendiri kalo utk sampah, mulai misah2in antara organik/bukan.pake tas kain kalo belanja, tp untuk barang2 ga terpakai, kayak sofa yg udh lama, baju bekas, aku lbh suka utk ksh ke orang ato tukang loak sekalian drpd dikumpulin :p. Menuhin2 rumah soalnya..

    ReplyDelete
  12. Aku yang kenal suami 7 tahun sebelum nikah pun pas nikah tetap menemukan hal-hal yang baru kuketahui setelah menikah. Dan ia perbedaan itu lumayan war banget sih. Hehehe

    Kalau jadi emak-emak emang bawaannya langsung irit sih mbak. Hahaha... Aku juga sering tuh menggunting pelembab, sabun cuci muka, di dalamnya masih banyak kan sayang tuh. Terus yang pake clodi itu aku gagal menerapkan ke anakku 😅 berawal karena SC terus infeksi jadi susah mau nyuci-nyucinya, ehhhh keterusan malasnya.

    ReplyDelete
  13. Meskipun sederhana dengan membelah pencuci dua muka menjadi dua. Tapi itu sudah bagian dari pengiritan ya kak. Tapi jujur belum pernah membelah pencuci muka jadi dua bagian biar bener-bener habis. Widya coba ah biar irit juga :D

    ReplyDelete
  14. Suliiiittt. Apalagi mak-mak manja kayak aku, pakai clodi bikin puyeng krn keringnya lama. 😭😭😭

    Aku usaha banget meminimalisir pospak, ngilu lihat pospak di TPS. Relain diri diompolin berkali-kali. 😂

    Kalo sampah plastik dll itu aku milih angsurin ke pak pemulung, enggak sempet recycle. Salut buat mereka yg kreatif mengolah sampah.

    ReplyDelete
  15. baru tahu 3R itu punya istilah lain, Zero Waste. Hmmm, jujur saya belum bisa menenanmkan sikap zero waste ini. Apalagi menananmkan ke dede bayi, masih pake diaper seklai pakai juga sih.

    Bingung juga yah pingin punya gaya hidup zero waste, tapi kayaknya buatku agak sulit

    ReplyDelete
  16. hihihi.. kayaknya aku tipe kayak suamimu deh.. Tpi satu sisi kalo bersihin tube pasta gigi, kayak dirimu.

    Aku enggak suka nyimpenin barang2, karena nggak pernah rapi nyimpennya. Merusak pemandangan. Klo misal disimpen rapi, taruh di lemari, jaga2 andai besok dipakai lagi. Ujung2nya lupa.

    Ya udah, tiap ada botol bekas, atau bungkus bekas minyak, dan semacamnya. Pasti kubuang. Kalo udh jelas mau dipakai kapan, baru aku simpen. Hehe

    ReplyDelete
  17. Aku suka nyimpen botol bekas sama barang-barang yang kurasa bisa digunakan untuk hal lain. Cuma kayanya masih belum sampai ke tahap zero waste.

    ReplyDelete
  18. Bapak saya termasuk salah satu orang yang mempengaruhi kebiasaan saya untuk memanfaatkan barang bekas menjadi sesuatu yang berguna. Dan tanggapan suami saya, persiiiisss seperti suaminya Mbak hehehe...
    Selama ini belum pernah membagi pasta gigi atau tempat krim menjadi dua bagian sehingga mudah untuk membersihkan isinya. Jadi keide-an untuk memotong tube menjadi dua bagian hehehe...

    ReplyDelete
  19. Aaakkkk panutanqueeee... Saya juga terbiasa dan berusaha hidup less plastic, less waste. Dan sejak 2012 nggak minum air mineral gelas lagi. Semoga kelak saya juga bisa memberi teladan ke anak yaaaa. Huhu thanks udah ngingetin hal ini, kakak

    ReplyDelete
  20. Aku sangat suka sama yang namanya hemat2 dan tidak mubazir karena kalau tidak salah itu sunnah. Aku juga salah satu yang agak bersebrangan sama suami dalam beberapa hal. Kadang gemes. Haha

    ReplyDelete
  21. hehehe itu yg pelemba mau abis suka gtu juga, odol jg aku gtuin hahaha emak irit mode on.
    Emang sejak kecil baiknya anak2 ditanamkan ttg gaya hidup ini ya, supaya alam di masa depan bisa tetap terjaga. Kalau sejak kecil ditanamkan pasti bikin terbiasa.

    ReplyDelete
  22. keren banget bunda. saya masih belum aware soal ini. aduh harus dibiasakan ya sebelum kebablasan. nice share bunda!

    ReplyDelete
  23. Aku juga masih sering mengingatkan anak-anak untuk membuang sampah pada tempatnya, tiap mereka nggak buang sampah setelah makan sesuatu. dan memang menciptakan habit positif itu tidak mudah

    ReplyDelete
  24. Setiap orang menghasilkan sampah, tapi yang peduli pada sampah nggak sampai 1%nya (dapat kalimat itu waktu ikut workshop pengelolaan sampah).

    ReplyDelete

Terima kasih sudah berkunjung :)
Saya akan senang jika teman-teman meninggalkan komentar yang baik dan sopan.
Mohon maaf komentar dengan link hidup akan saya hapus ^^.