Anakku, Janjiku adalah Utangku



http://www.dekamuslim.com/2016/09/anakku-janjiku-adalah-utangku.html


“Bii… katanya mau ngajak jalan-jalan?” 
“Abi masih repot ini, lho…” 
“Lha, tadi katanya mau ngajak jalan-jalan…?” 
“Kamu gak liat, ya, Abi masih repot??” 
“Lha, tadi, lho….” 
“Wes, gak jadi. Kamu rewel soalnya!” 
“Huwaaaa…..” meledaklah tangisnya. 


Itulah cuplikan percakapan antara suami dan anak saya. Saya cukup gemas juga dengan jawaban suami. Pasalnya, sebelumnya memang suami telah menjanjikan akan mengajak anak-anak jalan-jalan sore itu. Ya, memang pada kenyataanya sedang repot, sih. Biasa, urusan pekerjaan. Tapi pecakapan seperti itu bukan sekali itu saja terjadi. Suami seperti belum hafal dengan kebiasaan anak-anak. Sekali mereka diberi janji, pasti mereka akan menagih terus, sampai tertunaikan janji-janji kami tersebut. 

Sehingga saya sering mengingatkan suami, mending enggak usah kasih janji ke anak-anak. Kalau mau ngajak mereka jalan-jalan atau mau memberi sesuatu pada mereka, dibikin surprise saja. Kecuali kalau akan bepergian jauh, baru kami akan kasih tahu pelan-pelan, besok tanggal sekian kami akan pergi ke tempat A. Itu kami maksudkan agar anak-anak bisa mempersiapkan dirinya dengan baik. Agar nurut kalau disuruh istirahat yang cukup, agar di saat hari H nantinya mereka sudah siap.

Dulu saya juga sering "ketanggor" (bhs Jawa, maksudnya kedapatan) sama si sulung. Anak kecil, kan, banyak pintanya, banyak tanyanya, banyak nagihnya. Hihihi... Misalnya seperti ini:
"Mi, nanti buatin teh, ya"
"Mi, nanti pulang sekolah mampir beli kertas lipat, ya."
"Mii, besok-besok belikan robot lagi, ya." (padahal baru saja nginthil dari pasar beli mainan robot).
"Yaa... insya Allah." 

Saya lupa, entah sejak kapan si sulung sering membuat "janji sepihak" dengan saya dan ayahnya. Hehe... Maksudnya, meski kadang kami tidak setuju, dia ngeyel pengin dipenuhi janji yang dibuatnya sendiri. Mungkin sejak dia mulai lancar ngomong. Dan kalau kami belum memenuhi janji tersebut, dia akan terus merengek, menagih.

Meski janji-janji tersebut terlihat sangat sepele, tapi saya kadang lupa untuk memenuhinya. Kesibukan akan aktivitas-aktivitas kerumahtanggaan seringkali membuat saya melupakannya. Mungkin karena saking sepelenya, terlalu sering berjanji, janjinya juga hal-hal yang kecil, berjanji pada anak kecil pula, sehingga tidak terasa sebagai sesuatu yang penting.

Belajar dari pengalaman-pengalaman yang telah lalu, saya tidak pernah lupa mengucapkan kata "Insya Allah" pada anak saya ketika membuat janji. Ya, meskipun dulunya dia belum paham akan kata-kata itu, tapi pelan-pelan kami memberi pengertian padanya. Bahwa kami sudah berniat memenuhi janji-janji kami, dan semoga Allah mengizinkan kami untuk memenuhinya. Tapi jika janji kami tidak terpenuhi, berarti Allah belum mengizinkan. Mungkin lain waktu baru kami bisa memenuhi janji itu, atau kami menggantinya dengan memberinya sesuatu yang lain.


Tentang Janji
Janji adalah utang, karena bila kita telah berjanji kepada orang lain, maka kita wajib memenuhinya. Janji wajib kita bayar atau tunaikan 
sebagaimana jika kita berutang. Janji wajib kita tepati sesuai kesepakatan. Mengenai janji, Allah sudah dengan sangat jelas berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu.” (QS. Al-Maidah: 1)
“Dan penuhilah janji, sesungguhnya janji itu pasti dimintai pertanggungjawabannya.” (QS. Al-Isra': 34)
“Dan tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji dan janganlah kamu membatalkan sumpah-sumpah(mu) itu sesudah meneguhkannya, sedang kamu sudah menjadikan Allah sebagai saksimu (terhadap sumpah-sumpah itu).” (QS. An-Nahl: 91)

Akad yang dimaksud dalam QS. Al-Maidah ayat 1 adalah perjanjian. Di sini sudah jelas, jika kita ingin disebut sebagai orang yang beriman, maka wajib hukumnya untuk memenuhi setiap janji yang telah kita buat. Jelas, setiap perintah Allah dalam Al-Qur'an adalah sebuah kewajiban yang harus muslim laksanakan. Dan seperti halnya perbuatan-perbuatan yang lain, janji juga akan dimintai pertanggungjawabannya kelak di akhirat.
 
Janji baru bisa dibatalkan kalau ada udzur secara syar’i (sesuai syari'at/aturan Islam), seperti:

  • Janji tersebut bertentangan dengan syari'at Islam. Misalnya janjian untuk mencuri, membuat celaka orang lain, dan lain-lain.
  • Sakit. Pada saat yang sama kita sedang sakit dan tidak mampu untuk memenuhi janji.
  • Ada hal yang lebih baik yang perlu dilaksanakan. Misal janji pada anak untuk mengajak jalan-jalan, tetapi ternyata pada saat yang sama ada saudara yang sakit yang memerlukan bantuan (dijenguk). Atau pada saat yang sama ada tetangga/saudara yang meninggal.
  • Hilang akal. 

Maka dari itu, setiap berjanji hendaknya kita mengucapkan kata "insya Allah" yang artinya "jika Allah mengizinkan". Namun meski mengucap kata insya Allah, bukan berarti kita bisa meringankan janji yang telah kita buat dengan alasan "jika Allah mengizinkan" tersebut. Melainkan, kita benar-benar berniat memenuhi janji yang kita buat, tetapi jika Allah berkehendak lain maka kita harus menerimanya.


Janji Kepada si Kecil
Seperti yang saya tulis di atas, janji adalah utang. Tapi bagaimana jika kita berjanji pada anak-anak? Apakah kita wajib juga memenuhinya? Soalnya, kan, anak-anak belum tahu hukumnya janji seperti apa?


Seperti yang pernah saya baca di beberapa artikel, dan juga pengalaman pribadi, jika kita menyalahi janji (tidak memenuhinya) pada si kecil, hal ini secara tidak langsung akan mengajarkan keburukan pada anak kecil. Karena si kecil adalah peniru ulung dari segala tabiat orang lain terutama orang dewasa. Jika kita biasa mengingkari janji padanya, dia akan menirunya di waktu-waktu yang lain.
Selain itu, mengingkari janji juga termasuk dusta atau kebohongan. Sedangkan dusta tidak diperbolehkan sekalipun kepada anak kecil.
“Kedustaan tidak dibolehkan baik serius atau main-main, dan tidak boleh salah seorang kalian menjanjikan anaknya dengan sesuatu lalu tidak menepatinya.” (Shahih Al-Adabul Mufrad no. 300).

Dalam suatu hadits lain juga disebutkan:

Al-Imam Abu Dawud ra. telah meriwayatkan hadits dari sahabat Abdullah bin ‘Amir ra. dia berkata: “Pada suatu hari ketika Rasulullah SAW duduk di tengah-tengah kami, (tiba-tiba) ibuku memanggilku dengan mengatakan: ‘Hai kemari, aku akan beri kamu sesuatu!’ Rasulullah n mengatakan kepada ibuku: ‘Apa yang akan kamu berikan kepadanya?’ Ibuku menjawab: ‘Kurma.’ Lalu Rasulullah SAW bersabda:
“Ketahuilah, seandainya kamu tidak memberinya sesuatu maka ditulis bagimu kedustaan.”
(HR. Abu Dawud bab At-Tasydid fil Kadzib no. 498, lihat Ash-Shahihah no. 748).


Jikapun kita membatalkan janji dengan si kecil, sebaiknya juga dengan cara yang baik, sebagaimana sebelumnya kita telah membuat kesepakatan dengan mereka secara baik-baik pula. Janjinya baik-baik, maka penyelesaiannya juga harus baik-baik (jangan marah-marah seperti contoh percakapan suami saya di atas, ya :) ). Berikan pengertian pada anak. Di sinilah kadang kita sebagai orang tua diuji kesabarannya. Karena memberikan pengertian pada anak bukanlah hal yang mudah. Apalagi jika kondisinya sedang emosi tingkat tinggi, di antara deadline, de es be.. hihihi...
Kalau saya, sih, biasanya yang menjadi penengah kalau suami lagi enggak sabaran meladeni anak kami yang nangih janji gitu :).

So, meskipun kita berjanji dengan anak kecil, yang tidak ada saksi selain diri sendiri dan si anak (yang kemungkinan besar belum tahu hukum janji), tapi sesungguhnya Allah telah menjadi saksi dari janji yang terucap dari mulut kita. Betapa, akan ada dosa yang terus menumpuk jika kita sering bermain-main dengan janji pada anak kecil.

Astaghfirullah... semoga dengan telah menuliskan hal ini, saya pribadi akan selalu mengingat, agar berhati-hati dalam mengucap janji kepada anak-anak. Janji adalah utang, yang harus kita penuhi, kita bayar, kita tunaikan. 


*Tulisan ini sebagai tanggapan atas tulisan mak Haeriah Syamsuddin di web KEB (Kumpulan Emak-emak Blogger) yang berjudul "Bayarlah Utangmu Sebelum Ditagih" untuk Collaborative Blogging KEB.



8 comments

  1. saya juga sering janji sama anak saya Mba Diah, kadang-kadang ditepati, kadang-kadang juga tidak (ini terjadi kalo anaknya udah lupa)

    ReplyDelete
  2. Lega rasanya bila bisa menunaikan janji dan anak pun akan bahagia dn semakin sayang kepada orangtuanya

    ReplyDelete
  3. Saya dulu pas kecil kalau dijanjiin sesuatu gak jadi, pasti nagih terus ke ortu :D

    Dan bener banget itu, janji ke anak pun harus dipenuhi, agar kelak anak juga memenuhi segala janjinya :)

    ReplyDelete
  4. betul mbak...secara nggak disadari kadang kita membuat janji dan lupa begitu saja...astaghfirullah
    apalagi janji ke anak-anak...

    ReplyDelete
  5. Janji adalah utang, sekalipun pada anak kecil. Sebisa mungkin saya selalu berusaha menepati janji pada anak2 meski terkadang ada saja godaan untuk tidak menepati janji. Tapi kalau teringat anak2 nantinya bakal meniru emaknya yg ingkar janji maka buru2 janji itu ditunaikan. Kalaupun gak bisa, saya biasanya kompromi dengan anak minta pengertian mereka.

    ReplyDelete
  6. Anak-anak kebanyakan sama ya, gak bisa dijanjiin, kalau nagih gak pakai kompromi. Heheh..

    Dengan siapapun kita memang perlu menjaga kepercayaan, termasuk pada anak-anak.

    ReplyDelete
  7. Masalahnya anak2 skrg pintar bikin mamanya berjanji :D
    Biasanya sih minta dibelikan mainan atau jalan-jalan.

    ReplyDelete
  8. Sebisa mungkin aku berusaha untuk nepatin janji ke anak si mba kecuali klo ternyata anak sakit maka batal deh janjinya.

    ReplyDelete

Terima kasih sudah berkunjung :)
Saya akan senang jika teman-teman meninggalkan komentar yang baik dan sopan.
Mohon maaf komentar dengan link hidup akan saya hapus ^^.