[Mommylicious and Me] Begitu Dekat, Begitu Bersahabat






Jawaban asal 
Saya sering kebingungan mencari jawaban pertanyaan Asa. Terkadang saya menjawab asal-asalan. 
Asa : Ma, kok ayam punya telur? 
Mama : Iya, memang ayam punya telur. 
Asa : Kenapa matahari terang? 
Mama : Iya, kan memang terang. 
Ehh… Asa pun meniru gaya saya menjawab. 
Mama : Kenapa Asa menangis di sekolah? 
Asa : Iya, kan menangis. 
Mama : Asa, kenapa kok mainannya dilempar-lempar? 
Asa : Iya dong, kan dilempar. 
Hadeeeeuh…! 
(Mama Arin, hal. 41). 


Buku @Mommylicious_ID



Hihihi... Setiap anak memang unik, ya. Termasuk dalam hal cara berkomunikasi. Dan, setiap anak itu memang benar-benar peniru ulung! Seperti dalam tulisan di atas itu, yang merupakan salah satu cuplikan dalam buku @Mommylicious_ID yang sukses bikin saya tersenyum simpul :). Itu adalah tulisan mbak Arin tentang salah satu interaksinya dengan Asa putranya.

Saya memang enjoy sekali membaca buku ini, karena ketika membacanya, saya merasa mempunyai teman yang menghibur, teman dalam satu “dunia”. Ya, dunia ibu-ibu. Cuplikan tulisan di atas, misalnya. Saya juga sering mengalami komunikasi yang asyik, lucu, atau bahkan saya nggak paham dengan maksud pembicaraan Faiq (4,5 tahun) anak saya. Anak-anak memang terkadang bahasanya aneh :). 

Membaca buku @Mommylicious_ID karya mbak Arin dan mbak Rina, memang terasa begitu dekat dengan keseharian saya. Meskipun sebagian besar cerita yang tertuang dalam buku ini seputar kehidupan working mom, namun tak dapat dipungkiri, “rasa-rasa” yang muncul terkait peran penulis sebagai mama hampir sama dengan apa yang saya rasakan sebagai full time mom. 


Karena review tentang buku ini sudah pernah saya tulis, kali ini saya hanya ingin berkomparasi-ria mengenai keseharian saya dengan keseharian duo penulisnya, yaitu mbak Arin dan mbak Rina. Nah, berikut ini beberapa bagian yang ditulis oleh mbak Arin dan mbak Rina yang juga pernah saya alami. 

a. Suatu kali, saya sempat dibuat marah, tersinggung, sekaligus sedih oleh seorang mama. Ia melihat saya membuat susu tambahan di sebuah ruang laktasi di sebuah mall, lalu berceletuk, 
“Kenapa tidak siberi ASI?” 
“Ini hanya tambahan,” terang saya. 
“Sebenarnya nggak ada istilah ASI yang tidak cukup, itu sebabnya Allah memerintahkan menyusui sampai dua tahun. Usaha kita yang harus lebih keras.” 
Saya tersenyum dan bergegas meninggalkan ruangan. ASI versus susu formula selalu menjadi perdebatan tak berujung dan saya tidak mau terlibat di dalamnya. (Mama Rina, hal. 20). 
>> Saya juga pernah mengalami hal yang kurang lebih sama, ketika anak pertama saya harus saya beri sufor mulai usia 1 atau 2 bulan. Saya sangat sedih, tapi apa mau dikata, ASI saya susah keluar. Barangkali saya memang kurang usaha, tetapi kalau ada yang berkomentar menyudutkan seperti itu, rasanya sedih banget. 

b. Sesekali saya bagi tugas mengurus bayi dengan mereka agar saya bisa memberikan prioritas perhatian pada Cinta, bukan sekedar perhatian sambil lalu yang saya lakukan sambil menggendong adiknya. (Mama Arin, hal. 27).
>> Di rumah, saya juga ditemani oleh ibu. Saya berusaha membagi perhatian antara sulung saya (Faiq) dengan adiknya, Fahima. Kalau Faiq sedang pengen banget dekat dengan saya, Fahima saya serahkan ke ibu untuk sementara. 

c. “Aku mau disuapin Mama!” teriak Azka makin kencang. 
“Kalau mau sama Mama tunggu sampai Dede bayinya selesai menyusu.” 
“Nggak mau! Aku mau sekarang!” tangisnya makin keras. Saya bertekad kali ini tidak akan menyerah memenuhi keinginan Azka. Dengan Khalif dalam gedongan, saya beranjak menuju kamar. Azka berlari mengejar. 
“Aku mau makan disuapin Mama.” 
“Iya, tapi tunggu!” kesabaran saya habis. 
(Mama Rina, hal. 30). 
>> Duh… Saya juga sering berdebat sama Faiq seperti itu, yang inti masalahnya Faiq minta perhatian dari saya yang saat ini lebih banyak memberikan perhatian ke adiknya yang masih usia 9 bulan. Sifat Faiq juga keras. Jadinya, dia sering teriak-teriak dan kadang berakhir dengan tangisan :(. 

d. “Kakak Cinta, Mama sarankan kamu meminjamkan mainanmu sebentar agar adik tidak penasaran. Percayalah, Adik akan bosan san kamu bisa mengambilnya lagi.” Tapi nanti dirusak sama Adik…” “Kalau kamu pertahankan, Adik akan merebut paksa, dan itu justru akan merusak mainanmu.” Cinta dengan berat hati menyodorkan mainannya. Saya merasa tidak adil pada Cinta. (Mama Arin, hal. 33). 
>> Waaa… ini sering banget terjadi akhir-akhir ini. Rebutan mainan! Si kakak gak mau ngalah, si adik maunya ngerebut mainan kakak, atau deket dengan kakaknya terus.. Teriakan sang kakak dan tangisan si adik sering banget terdengar di rumah saya :D. Dan iya, saya sering merasa tidak adil pada Faiq. 

e. “Ma, sini, ke kamar Teh Wanti aja. Jagain Azka. Azka pengen pelukan sayang.” Saya tercenung. “Kamar teteh kan sempit, di sini aja yuk kita pelukannya,” kata saya. Azka menghampiri saya, lalu kami berpelukan. Ternyata tidak perlu ada yang saya cemburui, Azka hanya ingin dekat dengan orang-orang yang menyayanginya. (Mama Rina, hal. 81). 
>> Kadang, ada saatnya ketika Faiq dekat sekali dengan neneknya, manja. Neneknya pun sepertinya juga pengen banget dekat dengan cucunya. Kadang saya cemburu. Tapi, saya yakin suatu saat Faiq (juga Fahima) juga akan bisa membedakan rasa sayang pada saya, abinya, neneknya, kakeknya, dan sebagainya. 

f. Namun Azka tidak bergeming. Tangisannya berubah raungan, kakinya dihentak-hentakkan. Tangannya dipukulkan ke sana ke mari, menangkis uluran tangan abinya yang siap membopongnya. Malu sudah tentu karena kami jadi tontonan. (Mama Rina, hal. 113). 
>> Duh.. yang ini jugaaa... Saya juga pernah mengalami yang seperti ini. Waktu itu pas acara silaturahim Idul Fitri, keluarga besar lagi ngumpul. Karena nggak diturutin keinginannya, Faiq nangis, manjerit-jerit, yah begitulah, tantrum. Malu banget rasanya sama saudara-saudara :(. 






Sebenernya masih banyak kejadian-kejadian yang saya alami serupa dengan yang dialami mbak Arin dan mbak Rina, tapi kepanjangan kali yaa kalau mau ditulis semua :D.
Dan berikut ini penggalan-penggalan kalimat yang rasanya “iya banget” buat saya. Sukaaa dengan quote atau kalimat-kalimat yang berikut ini :). 
Saya jadi diingatkan betapa pentingnya berbagi pengetahuan soal parenting pada asisten atau babysitter, agar mereka tidak mudah memberi label negatif pada anak. (Mama Rina, hal. 85).  
Tumbuh kembang yang cepat akan membuat saya merindukan keributan-keributan masa kecil anak-anak. Yah, selagi anak masih mau lengket sama kita, ya nikmati saja. Beberapa tahun lagi mungkin ia sudah enggan kita cium dan peluk. (Mama Arin, hal 94).  
Padahal, saat itu rasanya saya membutuhkan dan merasa pantas mendapat teguran keras atas kelalaian yang saya lakukan. (Mama Rina, hal. 97).  
Kebanggaan pada anak bukan karena mereka luar biasa, tetapi wujud rasa syukur bahwa anak-anak berkembang sesuai usianya. (Mama Arin, hal. 104).  
“Wah, hebat! Tidak semua anak bisa menghabiskan makan siang. Kamu harusnya bangga, Sayang. Mama bangga padamu!” (Mama Arin, hal. 117). 
Dalam proses itu, saya tidak boleh melupakan sedikit pun bahwa seorang anak memiliki hak untuk bahagia. Artinya, dalam proses belajar dan eksplorasi, tidak boleh ada keterpaksaan. (Mama Arin, hal. 137). 
Setiap anak dapat menjadi bintang. Saya meyakini itu. Karenanya, saya berusaha menanamkan optimisme dan nilai-nilai positif pada mereka. (Mama Arin, hal. 137).  
Apa perasaan lawan bicara saya ketika saya bercerita tentang Cinta dan Asa? Apakah semua orang menerima cerita saya dengan senang hati? Mungkin saja ada orang-orang yang merasa terganggu dengan kisah saya. (Mama Arin, hal. 141).  
Intinya, setiap orang memiliki keinginan untuk berbuat lebih demi orang-orang yang dicintai, dengan beragam cara, mungkin juga dengan pilihan yang terbatas. Apa pun pilihannya, berbahagialah, karena kebahagiaan seorang Mama akan berpengaruh pada tumbuh kembang anak dan keharmonisan hubungan dengan suami. (Mama Rina, hal. 150).  
Seingat saya, kami sudah mempersiapkan Azka sebagai kakak sejak kami merencanakan kehamilan anak kedua. Kami kerap mengajaknya berbincang dengan berandai-andai Dede bayinya sudah ada. Seperti, “Nanti mainannya boleh ya dipinjam Dede bayi” atau”Nanti Kakak bantuin Mama ya jagain Dede bayi”. Selama kahamilan, saya kerap mengajak Azka berbincang dengan calon adiknya. Azka selalu tampak antusias dan tidak sabar menunggu dede bayinya lahir... 
Ya, saya harus lebih sabar dan belajar karena Azka perlu waktu untuk mengerti.(Mama Rina, hal. 31).  
Kembali ke pertanyaan nakal saya, siapa yang lebih saya cintai. Syukurlah sampai saat ini saya tidak menemukan jawabannya. Saya mencintai keduanya. (Mama Arin, hal. 40).  
“… Aku yakin, mereka ingin bermain dengan Mamanya dalam suasana gembira. Karena itu, Mamanya juga harus gembira. Do your passion.” (Mama Rina, hal. 157).  
“Jangan nyinyir pada ibu bekerja ya, Rina,” kataku berseloroh. 
“Enggaklah, aku pernah merasakannya. sebaliknya, kamu jangan anggap remeh ibu yang di rumah saja ya,” Rina membalas sambil tertawa.  
… 
“Don’t say goodbye. Kita bisa bertemu saat liburan. Dan chatting sepanjang hari seperti biasanya.” (Mama Arin, hal. 158-159).  
Ketika akhirnya saya melepaskan label working mom, saya tidak mau menyebutnya berkorban demi anak-anak, tetapi karena saya bahagia dengan pilihan ini. (Mama Rina, hal. 167).  
Saya memang memperjuangkan kebaikan mereka, tetapi saya tidak merasa ada bagian diri yang dikorbankan. Saya tidak berkorban, karena saya bahagia menjadi mama. (Mama Arin, hal. 170).  
“Menjadi orang tua ibarat memegang teguh kendali layang-layang. Bagaimana kita bisa menerbangkan layang-layang itu ke langit biru. Menjaga keseimbangannya saat sudah di atas. Menguatkan talnya agar tidak putus. Membuat layang-layang sebaik mungkin hingga saat badai dating dapat bertahan, dan tetap terbang seusai badai berlalu, menikmati kembali sinar matahari yang cerah.” 
“It’s a long, long journey. Have a great experience of being a mother. It’s mommylicious!” (Mama Arin, hal. 171).

Buku @Mommylicious_ID ini memang terasa begitu dekat dan begitu bersahabat dengan saya. Dan, selain kesamaan-kesamaan kejadian dan segala rasa sebagai mama, tentu saja saya belajar banyak dari kisah-kisah dua mama hebat ini. Bagaimana tidak, mereka berdua adalah penulis yang telah banyak menghasilkan tulisan-tulisan parenting dan memang berpengalaman di bidang itu.

So, buku ini memang delicious, bikin saya sebagai ibu atau mama merasa bangga menjadi mama, dan bisa ikutan bilang, it's mommylicious!! :)))



12 comments

  1. Buah hati memang bagian terpenting, dan ibulah yang mendampingi setiap saat perkembangannya :D, nice share Mba

    www.salmanbiroe.com

    ReplyDelete
    Replies
    1. Betul, buah hati adalah amanah dari Allah yang wajib kita jaga, dan ibulah yang paling dekat dengannya :)
      terima kasih, Mas Salman, atas kunjungannya :)

      Delete
  2. Sama nih, sepupu 4 th vs ponakan 2 th, hobi berantem. Yg 2 th jg adu jerit sma kakaknya

    kdg terlihat gak adil si mama

    ReplyDelete
    Replies
    1. hihihi.. Jiah pasti risih juga ya denger 2 ponakan yang sering berantem. Itu baru ponakan, ya. Tunggu ntar kalo anak-anaknya sendiri :D

      Delete
  3. Aah... anak2 memang menggemaskan ya mbak ... Nitip sun sayang utk Faiq & Fahima yaa ... :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ya, begitulah, Mbah Mechta... kadang bikin emosi, tapi kalau udah selesai balik gemes dan sayaaanggg... hehehe..
      saya sampaikan salamnya, mereka berdua udah pulessss.... :)))

      Delete
  4. Kisah seru dengan anak-anak nggak ada habisnya ya Mbak. Selalu menarik untuk dibicarakan. Apalagi dengan ibu-ibu lainnya.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Yup, bener banget, Mbak Lina.. karena tiap anak juga punya cerita sendiri-sendiri, beda dengan yang lain. Jadinya seru aja kalo kita tuker cerita dengan ibu-ibu lain :)

      Delete
  5. wah MANFAAT sharenya mba diah... trimakasih *_*

    ReplyDelete
    Replies
    1. wah.. manfaat ya? makasih kembali, Mak Primastuti ^^

      Delete
  6. Anak-anak itu tingkahnya emang bikin hidup jadi terasa hidup ya mak... kadang kita ngerasa dah jadi guru buat mereka eh ternyata justru kitalah yang sedang jadi murid dan belajar lagi sebenernya..hehehe

    ReplyDelete
    Replies
    1. Yup, begitulah yang saya rasakan, Mak.. saya sangat berterima kasih pada anak-anak.. karena dari merekalah saya belajar banyak hal, mulai dari kesabaran, kasih sayang, sampai ilmu-ilmu baru tentang parenting.. karena dari "praktek" menjadi orangtua lah sebenarnya ilmu-ilmu itu nyata kita dapatkan :)

      Delete

Terima kasih sudah berkunjung :)
Saya akan senang jika teman-teman meninggalkan komentar yang baik dan sopan.
Mohon maaf komentar dengan link hidup akan saya hapus ^^.