Tepa Slira, Sebuah Kearifan Budaya Jawa



credit


Saya mempunyai teman, sebut saja namanya A. Dia adalah salah satu adik kelas saya ketika kuliah dulu. Kami sudah sama-sama menikah, namun A tidak seberuntung saya di satu sisi. Ya, ada satu sisi yang membedakan kami, sehingga seringkali komunikasi di antara kami berisi motivasi-motivasi dari saya untuknya. Satu sisi yang membedakan kami itu adalah, saya sudah dikaruniai 2 orang anak, sedangkan dia belum mempunyai keturunan di usia pernikahannya yang sudah 3 tahun.

Seperti biasa, suatu waktu dia mengirim sms (short message service) untuk sekadar curhat pada saya. Katanya, perasaan sedih kadang muncul bila dia melihat teman-temannya yang sudah mempunyai seorang anak, bahkan ada yang sudah mempunyai 2 atau 3 anak. Ketika itu, saya sedang hamil anak kedua. Sebenarnya sebelum dia mengirim sms, saya hendak berbagi kabar bahagia tentang kehamilan saya. Tapi niat itu saya urungkan demi membaca sms-nya. Bagaimana tidak, mungkin dia akan semakin merasa sedih jika saya mengabarkan berita kehamilan saya. 

Maka saya mencoba mengambil sikap tepa slira. Saya pun berganti haluan, membalas sms bernada membesarkan hatinya, menghiburnya, dan mengajaknya ber-positive thinking atas semua ketetapan Allah. Meski saya sendiri juga belum tentu kuat jika diberi cobaan seperti yang dialami si A. Bagaimana jika saya berada pada posisinya? Mungkin saya juga akan sedih sekali, dan berpikir yang tidak-tidak. Apa ada yang salah dengan diri saya? Apakah usaha saya masih kurang untuk mendapatkan momongan? Apakah Allah hanya menunggu waktu yang tepat untuk memberikan amanah itu? Dan lain-lain. 

Lalu jika dalam posisi galau semacam itu, kemudian ada seorang teman yang dengan gembira mengabarkan kehamilannya, bagaimana perasaan saya? Mungkin dalam hati saya akan bilang, “Ih, ini orang kok nggak ngerti perasaan orang lain, sih? Bersenang-senang di atas penderitaan orang lain? Coba kalau dia yang berada di posisi saya!” 

Maka, saya harus ber-tepa slira pada si A. Mencoba ikut merasakan keadaannya. Mencoba mengukur pada diri saya sendiri, seperti apakah jika saya yang mengalami cobaan itu?

Tentang Tepa Slira
Tepa slira (pelafalan huruf “a” seperti bunyi huruf “o” pada kata “bocor”), bila diterjemahkan tiap kata artinya adalah: tepa (ukuran) dan slira (badan). Maksudnya adalah segala sesuatu yang diucapkan atau dilakukan kepada orang lain hendaklah diukur atau diterapkan dengan badannya sendiri (dirinya sendiri). Dalam bahasa Indonesia, istilah yang paling mendekati (semakna) mungkin adalah tenggang rasa. 

Tepa slira memunculkan pemikiran, apakah ucapan atau perbuatan kita terhadap orang lain pantas jika diterapkan pada diri kita sendiri? Kalau kita tak mau diperlakukan negatif, ya, berlakulah positif terhadap orang lain. Misalnya jika kita merasa sakit apabila dicubit, ya, jangan mencubit orang lain. Apabila kita tak suka dibentak, ya, jangan suka membentak orang lain. Apabila kita kecewa jika diberi muka cemberut, maka sering-seringlah tersenyum pada orang lain. Dan lain-lain, semacam itu lah. 

Tepa slira merupakan salah satu ajaran Jawa yang sangat penting. Istilah atau ungkapan ini sudah ada sejak dulu dalam budaya Jawa. Ajaran ini adalah salah satu sikap terpuji untuk menciptakan tenggang rasa, menghargai orang lain, atau bertoleransi. Dengan sikap tepa slira, hidup bermasyarakat diharapkan dapat rukun dan tenteram, saling menghargai, tidak saling menyinggung dan menyakiti antar sesama. 

Sebagaimana diketahui, manusia tak mungkin bisa hidup sendirian. Karena pada fitrahnya, manusia memang makhluk sosial, hidupnya selalu bersosialisasi. Sebagai makhluk sosial tentu tak lepas dari pergaulan di tengah masyarakat. Dalam pergaulan tentu ada etikanya agar tak saling menyakiti dengan orang lain. Kita tak bisa semau sendiri, mendahulukan ego, atau semena-mena dalam bertindak. Kita harus memperhatikan juga kepentingan orang lain. Maka sikap saling menghargai mutlak diperlukan. Tepa slira akan mewujudkan keharmonisan bermasyarakat.

Ditepakne Awake Dhewe 
Ungkapan tepa slira sering terdengar dalam keseharian masyarakat Jawa, khususnya di Jawa Tengah. Namun di Jawa Timur pun kadang juga dijumpai istilah ini di beberapa tempat. Ketika saya hidup di Surabaya, istilah tepa slira juga lumayan akrab di daerah ini, meski dengan bahasa percakapan yang agak lain. Teman saya ada yang pernah bilang, “Yo opo seh arek iku. Ngono iku mbok yo "ditepakne" awake dhewe.” (Gimana, sih, anak itu. Seperti itu sebaiknya diukur pada dirinya sendiri). Gara-garanya, ada temannya (B) yang menjelek-jelekkan dirinya di hadapan temannya yang lain (C). Dia tahu, dan tentu saja tersinggung, bagaimana jika itu menimpa dirinya (B)? 

Tepa Slira dalam Budaya
Bahasa merupakan salah satu budaya di setiap daerah. Bahasa juga berperan membentuk perilaku masyarakatnya. Istilah tepa slira merupakan istilah dalam bahasa Jawa yang sarat akan makna, ajaran atas suatu sikap yang terpuji yang bertujuan untuk menciptakan masyarakat yang tenteram dan damai. 

Maka sikap tepa slira harus dibiasakan dalam keseharian kita. Setiap ucapan dan perbuatan kita seharusnya dijaga, dipikir dulu sebelum diucapkan atau dilakukan, tidak seenaknya sendiri. Dengan demikian kita akan selalu berusaha menghargai orang lain. Karena kita pasti akan selalu berinteraksi dengan orang lain, bahkan mungkin kadang membutuhkan bantuan mereka. 







Referensi: http://bocahe.blog.com/2010/05/18/tepa-slira/



17 comments

  1. Saya tahu kata tepa slira itu saat SD, dalam pelajaran bahasa Indonesia :)
    Dan sepertiya kata ini sudah jadi bahasa yang digunakan orang-orang untuk persamaan kata, mempertimbangkan perasaan orang lain.

    ReplyDelete
    Replies
    1. eeehh... dari pelajaran bahasa Indonesia ya, Mak? wah, berarti ungkapan ini sudah meng-Indonesia, ya :)

      Delete
  2. istilah tepa salira familiar jg d sunda

    ReplyDelete
    Replies
    1. oh gitu ya, Mbak? cuma beda dikit, "salira". eh tapi Sunda kan juga termasuk di Jawa, ya? Jawa Barat. hehe..

      Delete
  3. kata tepa slira ini seringkali diucapkan ibuku kala menasehatiku, jadi sy sekaang juga selaluu berusaha tepa slira dg orang lain, jangan sampai menyakitkan perasaan orang lain

    ReplyDelete
    Replies
    1. Memang penting ya, Mbak, untuk tepa slira pada keadaan-keadaan tertentu. Maka orang tua pun sering menasehatkan tentang hal ini pada anak-anaknya.
      Terima kasih atas kunjungannya, Mbak :)

      Delete
  4. Tepa Slira, sangat penting di Indonesia yang beraneka ragam budaya

    ReplyDelete
    Replies
    1. yup, betul sekali, Mas Adi..
      terima kasih atas kunjungannya :)

      Delete
  5. sebagai makhluk yg saling membutuhkan, kita harus memiliki sikap tepa slira, kalo tdk, kita tdk akan memiliki teman ya...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Benar sekali, Mbak Santi. Kalau tidak, orang lain juga tak akan menghargai perasaan kita :)

      Delete
  6. Replies
    1. Terima kasih.. sukses juga untuk Sehat dan Cantik :)

      Delete
  7. Nilai-nilai luhur budaya yang semoga lestari. :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. Mari kita lestarikan bersama-sama :)
      terima kasih atas kunjungannya :)

      Delete
  8. Setiap mendengar atau membaca kata "Tepa Salira", aku selalu merasa adem :)

    ReplyDelete
  9. Tepa selira ini berarti kalau di indonesiakan jadinya berempati gitu kali ya mbak

    ReplyDelete
  10. Nah iya harus saling tepa slira dg sesama. Agak sebel pas jaman pilpres jadi kayak pada egois gitu

    ReplyDelete

Terima kasih sudah berkunjung :)
Saya akan senang jika teman-teman meninggalkan komentar yang baik dan sopan.
Mohon maaf komentar dengan link hidup akan saya hapus ^^.